HR61, Kopi Termahal Ketiga Sedunia

Mereka justru menghargai filosofi, sejarah, dan kisah dibalik biji-biji kopi itu

HR-61 Colombia Proud Mary. The Third most expensive coffee at the universe

HR-61 Colombia Proud Mary. The Third most expensive coffee at the universe

Masih ditempat yang sama (Chez Moka. red), di hari yang sama dan jam yang semakin larut. Setelah saya menghabiskan 1 cangkir cafe latte, dan 1 cangkir kecil produk uji cobanya Kang Sandro (Java Preanger, hasil sangraian sendiri). Setelah Kang Sandro mulai mabok kopi. Setelah Kang Aat menghabiskan 1 cangkir affogato, 1 cangkir kecil Java Preanger, dan entah berapa cangkir kopi yang beliau habiskan dirumahnya. Setelah Flo mulai melayang-layang karena sukses minum 1 cangkir Black Hole, 1 gelas Lattegato, 1 cangkir kecil Java Preanger.

Dengan kejamnya, Kang Acek bercerita tentang: HR-61, kopi termahal ketiga sedunia. Tangannya tiba-tiba mengambil setoples kecil kopi berjudul: HR-61 | Colombia | Proud Mary. HR-61 adalah produk yang dikeluarkan oleh roaster Australia Proud Mary. Biji kopinya didapatkan dari Colombia. Apa yang membuat HR-61 menjadi yang termahal ketiga di dunia? effortnya.

Bayangkan, dari satu perkebunan kopi Colombia yang terdiri dari banyak pohon kopi itu. Masing-masing pohon kopi akan diuji rasa dan aromanya. Hanya 1 pohon kopi terbaik yang masuk klasifikasi HR-61. Konon kabarnya, Proud Mary mengeluarkan HR-61 hanya 3 tahun sekali dengan jumlah amat sangat terbatas.

Chez Moka hanya memiliki satu kaleng kopi HR-61 Proud Mary. Itu juga udah mau habis. Untuk 200ml kopi, dihargai Rp 100.000,00. Woooow. Antara kasihan perut, kasihan dompet dan penasaran tingkat tengkulak yang semakin menjadi-jadi setelah menghirup aroma biji kopinya.

Duit hasil sumbangan untuk yang fakir kopi

Duit hasil sumbangan untuk yang fakir kopi

Jadilah, kami sepakat untuk patungan. Ya ampun, fakir kopi banget.

Kang Acek, menyarankan untuk diseduh dengan Cemex. Konon katanya, rasa dari HR-61 akan keluar dengan optimal. Singkat, beliau langsung menyiapkan segala peralatan ritual menyeduh kopi ini. Kami-pun deg-degan dengan lebaynya. Semua berlangsung khidmat.

Menyiapkan filter dan Cemex

Menyiapkan filter dan Cemex (Foto. Sandro)

Menimbang biji kopi yang akan diseduh (Foto. Sandro)

Menimbang biji kopi yang akan diseduh (Foto. Sandro)

Menggiling kopi. Walau bagaimanapun kopi yang baru digiling tetap yang terbaik

Menggiling kopi. Walau bagaimanapun kopi yang baru digiling tetap yang terbaik (Foto. Sandro)

Suurrrr, air hangat di siram perlahan mengelilingi kopi yang sudah digiling. Tunggu 30 detik untuk ekstraksi, dan aromanya menyebar ke seluruh ruangan, bertarung dengan asap rokok *ah ngeganggu aje*. Seduh lagiiiii….menetes perlahan, dan siap disajikan.

Saatnya meyeduh kopi

Saatnya meyeduh kopi (Foto. Sandro). Akhirnya gue in frame juga 😀

Tetes demi tetes

Tetes demi tetes (Foto. Sandro)

Siap diminum

Siap diminum

Secangkir kopi HR-61 tepat dihadapan kami *lebay amat sih gueee*. Prosesi cupping dimulai.

Tahap 1. Sruput

Tahap 2. Kumur-kumur, biarkan kopi menyebar diseluruh rongga mulut

Tahap 3. Glek

Huah, asam-asam semriwing yang unik gimana gitu, nojos langsung ke penjuru mulut. Setelah ditelan, menyisakan sedikit rasa manis dan asam yang lembut. Beberapa kali teguk, barulah saya menebak-nebak. Aroma dan asamnya mendekati rasa Blackberry. Unik dan berkesan.

[FYI] Indonesia patut bangga, karena kopi termahal pertama adalaaaah: Kopi Luwak. Dan sekedar bocoran. Tanggal 16 – 18 Mei 2013 mendatang, akan diadakan Festival Kopi Internasional di Melbourne. Konon, Kopi Sunda Hejo akan membawa produk unggulannya yang diberi nama “Srigalung” (klo ga salah denger). Srigalung ini diprediksi akan menjadi kopi termahal di dunia.

Penasaran kan, saya nanya deh ke Mas Alfin (seseorang yang sukses memborong Proud Mary dari Australia tahun lalu) tentang apa yang membuat kopi dihargai mahal?

Beliau menjawab: Effortnya. Orang barat minum kopi bukan cuma sekedar rasa. Mereka justru menghargai filosofi, sejarah, dan kisah dibalik biji-biji kopi itu. Nah, Srigalung ini adalah biji kopi kualitas terbaik yang diseleksi manual menggunakan tangan.

Hidup kopi Indonesiaaaaaaa. Hah makin penasaran buat blusukan ke kebun-kebun kopi. Ngicipin specialty coffee, memetakan rasa dan memperkaya perbendaharaan rasa.

 

Chez Moka, Brewing Drinking & Discussing

“Niat pendirian Chez Moka ini memang untuk berbagi ilmu kok mba” kata Mas Ardi, salah satu Barista Chez Moka

chez moka-1-10b

Kang Sandro, teman saya yang memiliki kegilaan yang sama pada kopi, pernah merekomendasikan coffee shop Chez Moka untuk disambangi. Kami memiliki kesamaan dalam memandang ritual ngopi. Bukan sekedar untuk nongkrong, ataupun gaya-gayaan biar dibilang nge-hits dan gahol. Melainkan untuk mempelajari keunikan, dan karakter biji hitam ini. Maka, kami-pun memiliki kriteria tertentu untuk memilih coffee shopApa itu? coffee shop menyajikan specialty coffeedan yang paling penting: memiliki Barista yang siap berbagi ilmu tentang kopi kepada para konsumennya.

Dan inilah saya, duduk manis di Chez Moka bersama dengan 3 orang teman saya (Flo, Kang Sandro dan Kang Aat). Coffee Shop yang baru berusia 4 bulan (klo ga salah) ini, beralamat di Sawunggaling no.2 Bandung, dekat dengan UNISBA. Sang owner bernama Kang Cipi.

chez moka-1-7a

Ruangannya tidak terlalu luas. Hanya ada 4 meja kecil dan satu meja panjang khas mini bar tepat berhadapan dengan coffee bar. Meja panjang ini memungkinkan kita menikmati kepiawaian sang barista dalam menyajikan secangkir kopi dan memungkinkan konsumen berinteraksi serta berdiskusi dengan sang barista tentang kopi yang dipesannya. Sementara ini, cuma Chez Moka yang mengizinkan konsumen bebas meracik kopinya sendiri, seperti di dapur pribadi. Untuk orang baru kaya saya, niscaya bingung membedakan mana Barista legal, mana Barista ilegal :p. No Problemo, ga mengganggu kok, justru seru abis.

Eksperimen, nyeduh kopi Java Preanger yang disangrai sendiri oleh Kang Sandro

Eksperimen, nyeduh kopi Java Preanger yang disangrai sendiri oleh Kang Sandro

Kang Acek menyiapkan kopi

Kang Acek menyiapkan kopi

Tetesan crema yang cantik dari campuran 4 kopi arabika

Tetesan crema yang cantik dari campuran 4 kopi arabika

Seperti biasa, saya memesan cafe latte. Sambil jeprat-jepret, saya menikmati bunyi grinder saat menggiling biji kopi. Menikmati aroma kopi yang muncul saat digiling. Menikmati bunyi mesin espresso. Menikmati tetesan crema dalam secangkir espresso. Menikmati suara susu yang difrothing. Dan menikmati kepiawaian barista dalam membuat latte art. Tadda, secangkir cafe latte indah siap dinikmati dan dihayati. [FYI] Caffe latte yang saya nikmati ini full arabika loh (jarang2). Campuran dari Arabika Papua, Mandheling, Toraja dan Enrekang. Unik, rasa asam yang kaya tapi tetap ada rasa pahit yang tak bersisa. Nyum.

chez moka-1-4a

Secangkir Cafe Latte seharga Rp 20K

Flo, ga mau kalah. Kang Acek (barista Chez Moka, 3 tahun menggeluti dunia kopi) mendatangi kami, dan mengusulkan untuk memesan menu Black Hole. Black hole, minuman dengan tiga lapis. Simple syrup + es, perasan Lime, dan one shoot espresso. Tak lama, secangkir Black Hole dataaaang. Kang Acek tak segan duduk bersama kami, sambil menjelaskan bagaimana cara menikmati salah satu minuman yang bertuliskan “Barista Signature” ini.

Black Hole. Bassic espresso, perasan jeruk lemon, simple syrup, dan es

Black Hole. Bassic espresso, perasan jeruk lemon, simple syrup, dan es. Harga Rp 18K

“Minum setengah dulu, sisain setengah espressonya dan simple syrupnya. Baru setelahnya minum habis semuanya”

Flo meng-aamiini. Glek pertama dan glek kedua, diiringi muka dia yang lebay ga karuan sambil teriak “Aaaak, kang rasanya unik bangeetttt, ada dua sensasi rasa. Pahit, asam segar khas Lime. Setelahnya dibilas sama rasa pahit, asam segar, dan manis dingin dari simple syrup”.

Ternyataaa, Black Hole ini murni racikan Kang Acek sendiri, saat mengikuti IBC (Indonesian Barista Competition) 2013 lalu. Konon, beliau terinspirasi dengan sensasi rasa asam khas Bali Arabika. Lewat uji coba panjang, akhirnya ramuan ini tercipta juga dengan komposisi rasa yang unik (sempet nyicipin sisanya :p ).

Sambil terus menikmati kopi, kami bercerita ngalor ngidul tentang kopi. Berdiskusi tentang segala pengalaman Kang Acek selama menjelajahi dunia perkopian. Mendapati fakta-fakta menarik yang bikin saya makin kagum sama biji hitam ini. Bayangin ya, untuk jenis kopi Java Arabika aja kita akan mendapati rasa yang berbeda di setiap daerahnya. Kopi Garut yang rasanya khas nangka, Java Preanger yang asam-asam gimana gitu dan menyisakan manis yang unik di lidah setelah meminumnya, kopi Cibubur, Lembang, Pangalengan, Malabar dan banyaaaak lagi. Setiap daerah punya rasanya sendiri. Beda ketinggian beda rasa, beda tanah beda rasa, beda air tanah beda rasa, beda penanganan beda rasa, beda lama penjemuran beda rasa, beda lama roastingan beda rasa. Jadi kata siapa kopi cuma punya rasa PAHIT? :p

Secangkir Affogato, yang selalu gagal saya foto

Secangkir Affogato, yang selalu gagal saya foto. Harga Rp 25K

Apalagi yang seru dari Chez Moka? 

“Niat pendirian Chez Moka ini memang untuk berbagi ilmu kok mba” kata Mas Ardi, salah satu Barista disana. Niat inilah yang [mungkin] membuat mereka tak segan berbagi ilmu dan berbagi kopi gratisan :p. Bukan kopi milik perusahaannya, tapi kopi milik pribadi sang barista. Mereka menawarkan pada konsumen untuk menikmati kopi milik sang barista  secara cuma-cuma. Saya termasuk yang beruntung, sempat mencicipi uniknya Kopi Garut yang dibawa oleh Mas Ardi, tentu saja secara cuma-cuma :D.

So, klo kamu pengen tau lebih dalam tentang kopi atau pengen nyeduh kopi sendiri berasa di dapur rumah sendiri. Datang ke Chez Moka ya 🙂

Ngaleeut Cikopi

Ngaleeut Time

Ngaleeut Time

Bagi saya ritual minum kopi bukan sekedar rutinitas tanpa makna. Bukan sekedar memuaskan “life style” nongkrong manis di coffee shop biar dianggap gaul. Ga addict juga sih, saya masih bisa berpikir normal walaupun tak membuka pagi dengan secangkir kopi. Bagi saya, ritual minum kopi adalah ritual memaknai dan menghayati proses panjang menuju  keindahan. Ada proses panjang untuk menikmati secangkir kopi, dari mulai tanah tempat ia ditanam, bagaimana ia diperlakukan, bagaimana ia dipetik, dijemur, dibakar, digiling, hingga diseduh.

Dari dulu, judulnya saya ngidam untuk masuk ke lingkaran manusia yang menikmati kopi sebagai sebuah proses. Dan tadda, hari ini (09/05/13) saya bertemu dengan mereka. Sebenernya 3 makhluk adalah pemain lama (Mplo, kang Yudha, dan Kang Sandro) sedangkan 1 orang lainnya adalah makhluk yang saya juga bingung kenapa kami bisa rame mention2an di twitter ngobrolin kopi. Beliau adalah Kang Aat, makhluk yang saya pikir fiktif namun ternyata tercatat sebagai penghuni bumi yang resmi.

Agenda cupping yang serba dadakan. Bertempat di markas manusia-manusia homeless (baca: rumah kang Yudha). Ga jelas agendanya apa, yang kami tahu hari ini akan terjadi perhelatan akbar, dan cupping2 cantik. Masing-masing kami berinisiatif membawa kopi favorit dan alat seduh tercinta. Dan terkumpullah: biji kopi Papua Arabika, Lintong Arabika, Exelcso Robusta, Aroma Arabika, Javaco Melange, Javaco Arabika, Malabar Arabika, daaaan Kenya Arabika. Disudut kanan, sudutnya alat-alat menyeduh: ada Pour over dari merk Hario dan Felicity lengkap dengan kertas seduhnya. Ada teko. Ada French Press. Ada timbangan digital. Ada sendok takar khusus kopi. Ada Grinder. Niat banget kan? hah serepot inikah untuk menikmati secangkir kopi?.

Alat Tempur

Alat Tempur

Kang Aat yang akan memandu perjumpaan kali ini. Beliau menawarkan Lintong Arabika untuk diseduh pertama kali menggunakan Pour Over. Lintong Arabika masih berwujud biji segar. Asli rempong tapi seru deh. Satu orang bertugas memanaskan air mineral (untuk mengontrol rasa kopi). Saat air hampir mendidih, biji kopi langsung di grinding sedikit halus. Aroma kopi yang baru saja selesai di grinding itu indah. Aroma saat air panas pertama kali menyentuh bubuk kopi juga indah. Aroma saat kopi sudah siap disajikan di atas gelas juga indah.

Seduhan pertama Papua Arabika di dalam French Press

Seduhan pertama Papua Arabika di dalam French Press

Seduhan kedua, saatnya ekstraksi, nikmati aromanya

Seduhan kedua, saatnya ekstraksi, nikmati aromanya

Secangkir Kopi Papua Arabika :)

Secangkir Kopi Papua Arabika 🙂

Selanjutnya? ritual cupping dimulai. Klo selama ini saya selalu menikmati secangkir coffee latte, kopi susu atau kopi dengan gula merah. Hari ini saya harus menyeruput kopi hitam tanpa tambahan apapun. Benar-benar kopi murni, aroma murni, dan rasa yang murni. Masing-masing kami menyeruput sesendok kopi yang telah diseduh dan mendeskripsikan rasanya. Ritual yang seru banget. Setiap jenis kopi diseduh, diseruput, dan dideskripsikan rasanya. Untuk orang-orang canggih sejenis Kang Sandro dan Kang Aat, mereka sudah mampu memetakan rasa, kemudian membayangkan campuran kopi apa saja, dengan takaran seperti apa yang pas untuk menghasilkan kopi blend yang nikmat. Huffft, klo saya sih baru mampu membedakan rasa Arabika dan Robusta. Mendeskripsikan bedanya. Malabar Arabika dan Kenya Arabika, Malabar asamnya “cleb”, dan Kenya Arabika memiliki asam yang “drrrrzzzttt”. Ngerti ga? saya juga ga ngerti :p, cobain sendiri deh.

Kang Aat menyontohkan metode nyeruput yang benar. Rasa pertama yang muncul adalah rasa yang harus dideskripsikan

Kang Aat menyontohkan metode nyeruput yang benar. Rasa pertama yang muncul adalah rasa yang harus dideskripsikan

Judulnya Cupping dilakukan juga oleh Kang Sandro dan Kang Yudha

Judulnya Cupping dilakukan juga oleh Kang Sandro dan Kang Yudha

Aaaa, pengalaman yang menyenangkan. Menggelitik saya untuk mencicipi lebih banyak lagi biji kopi, menyeruputnya dan mendeskripsikannya. Hingga akhirnya saya mampu membuat sendiri kopi blend yang nikmat :D. Senang berkenalan dengan kalian, semoga pertemuan-pertemuan sekte Ngaleeut ini dapat berlangsung rutin.

Lintong vs Papua, apa bedanya?

Lintong vs Papua, deskripsikan perbedaannya

Formula tadi:

1 gram kopi untuk 15 gram air. Itulah alasan kenapa timbangan digital ada dalam list peralatan kami :), selamat menikmati proses.

Memanjakan Lidah di Kopi Gesang

Foto: Hesty Ambarwati

Bagi saya ramadhan kali ini adalah ramadhan yang paling irit. Seminggu berlalu, dan saya senantiasa menantikan adzan maghrib berkumandang dari Masjid Salman ITB. Selain karena (entah kenapa) kegiatan saya lebih banyak dihabiskan di Salman, ada juga modus lainnya: “Suksesi program 1000 Nasi Bungkus Setiap Hari”. Saya menjadi manusia yang berkontribusi aktif dalama suksesi program tersebut, alhasil seminggu belakangan saya dapat menghemat pengeluaran dengan hemat yang sehemat-hematnya.

Hari ini (30/7) ajakan untuk buka basamo dari seorang teman datang seiring bunyi BBM yang pasaran. “Tiong, buka bareng yo”, dan ajakan itu saya sambut dengan baik “Di Kopi Gesang aja yo”. Jadilah, saya beserta 2 teman saya berada di tempat ini sambil ngabuburit, sambil numpang wi-fi-an, sambil ngobrol, sambil rapat School Ranger. Saya pikir sesekali buka dengan konsep “ngemodal” perlu dilakukan untuk menghibur dan memanjakan lidah. Dan seperti biasa, saat memesan makanan serta minuman, saya seringkali meng-intervensi teman untuk memesan item yang berbeda. Agar apa? Agar bisa saling coba :p.

Apa saja yang kami pesan hari ini?

Sop Ayam, orang-orang sering bilang Sop Ayam pasti begitu-begitu aja. Benar sih, tapi menurut saya tidak selamanya Sop Ayam begitu-begitu saja. Walaupun isinya memang begitu-begitu saja (wortel, kentang, buncis, kol, ayam) namun kaldunya tidak begitu-begitu saja. Setiap tempat makan yang menyajikan Sop Ayam pasti memiliki rasa kuah yang berbeda. Ada yang enak hanya karena bumbu penyedap, ada yang kuat dengan mericanya, ada yang enak karena memang kaldunya sempurna. Sop Ayam di Kopi Gesang menurut saya enak, kuahnya bening, tapi sayang rasa kaldunya belum maksimal. Dan beginilah derita makan sop di kota Bandung, susah mendapatkan Sop yang benar-benar hangat.

Foto : Hesty Ambarwati | Sop Ayam

 

Soto Ayam, penampakannya sih enak, sayang karena yang pesan laki-laki dan tampak begitu lapar. Saya jadi tidak tega untuk merusuhinya :p

Foto: Hesty Ambarwati | Soto Ayam

 

I Fu Mie, bahasa sederhananya Cap Cay Sayur, hanya saja ada tambahan Mie yang digoreng dan dibentuk menyerupai sarang burung sebagai alas bagi sayur-sayuran. Menurut saya rasanya enak, tumisan sayurnya sempurna tidak terlalu matang dan tidak terlalu mentah, tampaknya diolah dengan proses yang benar. Di rebus sebentar dalam air mendidih dan ditambahkan garam lalu disiram air dingin untuk menghasilkan sayuran dengan warna yang cerah namun tidak hilang zat gizi.

Foto: Hesty Ambarwati | I Fu Mie

 

Kopi Jos. Minuman yang wajib dipesan di sebuah coffee shop. Single Coffee yang saya pesan kali ini adalah: Arabika Toraja. Rasanya tidak se-asam Arabika Papua Wamena, namun pahitnya lebih dominan ditambah aroma arang yang berpadu dengan aroma khas Kopi Toraja.

Foto: Hesty Ambarwati | Arang dicelupkan dalam Kopi

 

Foto: Hesty Ambarwati | Arabika Toraja

Terakhir. Secangkir teh manis hangat dan mendoan. Aih, tidak disangka duo kudapan ini disajikan gratis selama bulan Ramadhan. Nikmatnyooo.

Foto: Hesty Ambarwati | Teh dan Mendoan Gratisan

Dan tibalah pada saat yang paling mengerikan, bayar di kasir. Sudahlah tak perlu kita pandangi deretan angka yang tuntas dijumlahkan itu berkali-kali. Ia sudah berhasil mempecundangi kita semua, orang-orang yang pernah hidup dari 1000 nasi bungkus gratis di Salman ITB. Hahaha, selamat menikmati hari ini. Seminggu ke depan niscaya saya akan menjelma menjadi peserta yang aktif dalam program 1000 nasi bungkus gratis Salman ITB lagi.

N.B Ulasan Foto

Kebetulan saya menggunakan Nikon D60 dan lensa 35mm f 1.8 kali ini. Bukan karena saya tidak cinta dengan si Oly, hanya saja saya harus berbagi :p. Semua diambil dengan ISO 800, kejam memang tapi ini terpaksa dilakukan oleh sebab saya lupa bawa batere untuk flash *ahiw*. Konsep yang diambil sangat sederhana, makanan inti dan teman minumnya untuk seluruh makanan. Sedangkan untuk kopi, konsep yang saya ambil adalah cara membuat Kopi Jos. Sekali lagi, menurut saya fotografi makanan bukanlah jenis foto Macro melainkan Still Life, so berpaculah dalam konsep, tidak cukup berbicara tentang detail IMHO.

Nagri dari Garut

Bismillah…

Penampakan buah nagri

Alhamdulillah…awal tahun yang inspiratif. Setelah hari sebelumnya mendengar, berpikir dan merenung banyak bersama pa Isman (Kepala Museum KAA) tentang hakikat bangsa ini, nusantara tercinta. Maka 1 Januari 2012 kemarin ane lalui dengan jutaan inspirasi dari sang guru :D. Garut, setelah dihujani bermacam2 inspirasi hidup, ane pun dihujani dengan berbagai macam makanan :D…hahaha

Salah satunya adalah : Buah Nagri. Serupa tapi tak sama dengan buah markissa. Rasanya yang super asem, menambah kesegaran hari itu.

Cara mengolahnya gampang2 susah. Setelah disodori buah nagri, gelas, air hangat, gula, penyaring, sendok, dan pisau kami pun beraksi.

1. Belah menjadi dua buah nagri

2. Keluarkan bijinya, taro di atas saringan dengan gelas kosong di bawahnya

3. Peras biji dengan sendok, hingga sarinya keluar

4. Setelah sarinya keluar, masukkan gula (sesuai selera) dan air panas…

siap dihidangkan

 

Sirup Nagri

Sirup Nagri part 2

 

 

Si hitam manis dari Bulukumba

Bismillah….

 

Kedai Kopi Waddaddah, kopi susu khas Bulukumba

Pernah dengar Bulukumba? pertama kali mendengar nama ini pikiran ane langsung terbang ke sebuah daerah bernama Sumbawa yang  sangat terkenal dengan susu kuda’a. Tapi ternyata Bulukumba dan Sumbawa ga punya hubungan darah sama sekali :p. Ya, Kopi Susu Waddaddah khas Bulukumba  adalah sebuah kedai kopi yang lokasinya dekat kosan ane (baca : Gegerkalong Hilir, Bandung). Namanya yang unik itu membuat ane rada-rada penasaran sama rasa kopinya.

Jadilah hari ini, 27 Desember 2011 ane bersama dengan Nissa alias Flo my partner in crime menyambangi itu kedai kopi (setelah ane ditipu oleh kopi The Kiosk Ciwalk, 10ribu untuk dapetin kopi ABC biasa T_T). Setelah duduk dengan manisnya di kedai kopi itu, datanglah sang mas2 (Kak Dino) membawa kartu menunya dan berkata dengan logat khas daerah luar pulau Jawa : “Baca dulu sejarahnya”….

“Bulukumba itu nama daerah?” ane pun bertanya dengan polosnya

“Iya…pernah dengar celebes?…itulah orang Belanda menyebut kami” jawabnya

“oooo….Sulawesi toh”

Ok, setelah bertanya pada kak Dino mana kopi yang recomended akhirnya ane pesan satu cangkir kopi dua tellue yang perpaduan antara kopi dan susunya seimbang. Ada yang unik dari kopi bulukumba, aroma dan rasanya khas bakaran kopi (susah ngejelasinnya..haha). Mantab lah. Selang beberapa menit, kak Dino pun menawarkan satu kopi Waddaddah gretong sodara2. Itulah kopi hitam tanpa campuran susu dan gula terpahit yang pernah ane minum. Pernah ngerasain jamu brotowali ? begitulah kurang lebih rasanya. (Pantesan dia cuma nyengir2 aja pas ngasihin tu kopi).

“Klo minum kopi itu, biasanya yang ga cocok bakal ga bisa tidur atau paling ga diare..hahha” celetuk mas2 diujung sana

Kopi Dua Tellue

Kopi Waddaddah (Waddaddah berasal dari B.Arab yang berarti : mantab)

-_-‘ -_-‘ -_-‘…zzzzzZZZZ… Waddaddah dah

Oh iya..ngemeng2 ya…ini ilmu baru yang ane dapetin dari ngobrol2 bareng ma kak Dino :

Dahulu kala, sebelum terkenal kopi khas tanah Toraja, masyarakat Toraja mengambil biji kopi untuk pertama kalinya dari daerah Bulukumba. Dan, akhirnya kopi Toraja jadi lebih terkenal dibandingkan dengan daerah asalnya, yaitu Bulukumba. Di Sulawesi sendiri, minum kopi dipagi hari merupakan sebuah kebiasaan yang mendarah daging bagi kaum pria. Sebelum berangkat kerja, kedai2 kopi penuh sesak oleh penikmatnya. Dari mulai fotografer, wartawan sampai tukang rental mobil. Jangan aneh klo di Sulawesi sana, setiap kedai kopi pasti memasang tulisan “Rental Mobil”. Begitulah mereka, merentalkan mobilnya, menunggu mobilnya kembali sambil minum kopi dan ngobrol ngalor ngidul. Jangan harap menemukan makhluk berjenis wanita di kedai-kedai kopi, karena kopi memang identik dengan pria disana. (Ga kaya di Bandung ya…)

Nah, uniknya kopi Bulukumba di daerah asalnya memang terkenal sebagai kopi susu. Setelah di bawa ke Bandung,  barulah kopi Bulukumba dibuat lebih beragam variannya (karena kata’a, orang Jawa itu mengenal kopi dengan dua jenis : kopi bergula, dan kopi hitam). Humm..pas jalan2 ke dapurnya, jangan harap bertemu dengan satu set penyeduh espresso, mocca drip atau french drip. Kenapa ? karena kopi khas Bulukumba hanya bisa diseduh dari sebuah teko kuningan, inget ya..kuningan…ga boleh logam2 lainnya.

Teko penyeduh kopi, terbuat dari kuningan

Disaring terus sampe ga menyisakan ampas kopi

Nah…cinta itu rasanya kek kopi ini…kadang2 pahit :p

 

Sekian….ah senangnya menggali beragam jenis kopi Nusantara….

 

 

Akhirnya…ngopi juga

Bismillah…

Klo liat orang sampe addict banget minum kopi, kadang2 ane suka heran sendiri. Dari mulai kopi instant sampe kopi asli (tubruk mungkin ya bahasa perkopiannya). Akhirnya, ane yang ga terlalu suka minuman berwarna ini pun tertarik juga buat icip-icip kopi. Kopi pertama yang pernah ane coba adalah kopi instan, yang klo diseduh serbuknya langsung hilang. Versi ane dulu, kopi instan itu lebih modern n ‘muda’ dibandingkan kopi tubruk yang khas bapak-bapak.

Akhirnya setelah mencoba kopi instan yang harum itu, sensasi aneh pun terjadi. Deg2an dan mual dengan perasaan yang ga karuan *lebay. Dan selanjutnya adalah susah tidur -_-‘. Hah…walau efeknya kek gitu, ane kadang2 masih penasaran buat nyoba2in kopi. Ada yang bilang mungkin harus makan dulu sebelum minum kopi buat ngilangin rasa mualnya. Ok, akhirnya ane coba makan dulu sebelum minum kopi instan. Dan, nyatanya sama aja.

Hingga tersebutlah suatu hari, seorang teman ngasih satu bungkusan kopi robusta’a “Aroma” (tau kan warung kopi di daerah Banceuy yg super terkenal itu?) ke ane. Yang konon katanya kopi beginianlah yang kafein’a sedikit dan -kemungkinan besar- ga akan bikin ane deg2an n mual2 lagi. Tapi ternyata….selain ga tahan pahitnya, ane pun harus melewati sensai itu lagi..hah. Semakin menyerah menghadapi kopi. Ingin berteman namun tak bisa..hahaha.

Kopi dan aromanya membuat ane selalu penasaran untuk nyobain merk satu ke merk yang lainnya. Oh sulitnya menikmati kopi untuk jenis makhluk kek ane ini.

23 Desember 2011, setelah berjibaku dengan skripsi. Festival Kopi se-Indonesia akhirnya dilaksanakan juga di Bandung, tepatnya di Cihampelas Walk alias Ciwalk. Jejeran kedai kopi menghiasi Ciwalk, dari mulai kopi instan sampai kopi luwak yang harganya setinggi langit. Semerbak aroma kopi berhamburan menyambut ane saat menginjakkan kaki di area festival ini. Ah, harum seperti biasa, namun bayangan mual dan deg2an masih membayang saat ane menyeruput kopi2 itu. Satu per satu kedai ane sambangi. Kopi luwak, jenis kopi yang selalu membuat ane penasairan karena harganya yang amit2 itu menggiring ane menyambangi kedainya. Sambil berharap ada kedai yang menyediakan tester kopi luwak gratis untuk orang2 nanggung seperti ane ini, haha. Setelah disurvey dengan mata yang remang2, ternyata kedai itu hanya dipenuhi oleh orang2 berada yang menjadikan ritual minum kopi sebagai life style mereka (bikin gw ga pede).

Setelah dipastikan ternyata kedai kopi luwak tidak menyediakan tester gratisan, beralihlah ane ke satu kedai bernama “Bandar Kopi”. Jejeran kopi dari berbagai daerah di Indonesia menghiasi meja kedai itu. Gayo, Mandailing, Lintong, Flores, Java, Bali, Wamena, dan Kopi khas Bandar Kopi sendiri (campuran kopi2 Sumatera baik Arabica ataupun Robusta). Semakin tertarik dengan biji keramat ini :p.

Niat mencari ilmu akhirnya kesampaian juga. Sang Barista dengan sabar meladeni setiap pertanyaan culun ane tentang kopi (Rada berasa kampring juga sih pas tanya2 tentang kopi..maklum amatiran :p).

Pertanyaan 1 :
Q : Mas kopi apa yang paling enak?
A : Lintong sama Wamena mba, sayang wamenanya abis
Q : Klo Bali?
A : Versi aku sih ga terlalu enak, kopinya asem
Q : Manggut2 ga ngerti :p

Pertanyaan 2 :
Mas Barista : Mau coba kopi espressonya mba?
Ane : Boleh (sambil deg2an bakal merasakan sensasi aneh itu lagi atau ga pasca minum)

Ya..secangkir kopi espresso dari Bandar Kopi tersajikan dengan aromanya yang sangat2 harum berbeda dengan kopi Kapal Api kesukaan babeh ane(maklum belum bisa mendetailkan aroma seperti apa yang keluar dari kopi itu). Srupuuut…ah pahit khas kopi, tapi yang ini beda, seperti apa? entahlah pokoknya beda dan nikmat. Inilah kali pertama ane bisa minum kopi dengan nikmat, menikmati rasa pahitnya, menikmati aroma uniknya, menikmati campuran gula dan pahitnya. Dan yang paling mengagetkan adalah : ANE GA DEG2AN DAN MUAL sodara2. *prok2…

Setelah menghabiskan satu cangkir kecil espresso gratisan, ane pun memboyong 2 bungkus kopi (Lintong dan Bandar Kopi) untuk mbak ane. Tandanya, ane pun dapet 1 cup coffee latte untuk dinikmati gratisan lagi…hahaha. Dan inilah latte ternikmat yang pernah ane coba (maklum, ane cuma pernah nyoba good day latte :p *pembanding yang tak sebanding). Karena perbandingan kopi dan susunya adalah 1:2, mungkin pekat sang kopi tidak terlalu terasa. Tapi, perpaduan antara kopi dan susu itu terasa sangat harmonis. Apalagi setelah dicampur 2 bungkus brown sugar ke dalamnya. Ah maknyus brooo…

Yaya…konon kabarnya kopi berampas memang tidak menimbulkan efek deg2an dan mual. Ah, semakin tertarik mengidentifikasi dan mendefinisikan aroma serta rasa dari berbagai macam jenis kopi, cara menyeduh dan alat seduhnya. Terjawab sudah kebingungan ane tentang “kenapa sekelompok orang benar2 addict pada kopi”. Sayonara kopi instan :p

La

Bandar kopi yang aromanya unik..blend

Kopi Lintong, penasaran rasanya

 

 

 

 

[Jepret Lagi] Beverage Photo Session

[Jepret Lagi] Beverage Photo Session

Bismillah….

Kembali iseng. Tiba-tiba frutang yang ada di jejeran rak piring mendadahi saya bahagia. Pasca pemotretan gehu jeletot, maka model selanjutnya adalah frutang. Tapi klo hanya memotret frutang saja, gambar yang dihasilkan mungkin akan menjadi garing. Jadilah saya foto dengan teknik freezing, rencananya saat saya jatuhkan sesuatu ke dalam gelas berisi frutang akan tercipta efek cipratan air.

Pertanyaannya adalah, benda apakah yang akan saya jatuhkan ke dalam frutang ? koin ? benang jahit ? hahaha….alhamdulillah, untungnya saya masih memiliki persediaan kurma sisa Ramadhan kemarin :p. Jadilah kurma saya berikan peran sebagai peran pembantu.

Untuk sesi pemotretan kali ini, saya akan buat konsep yang minimalis saja. Background putih, (lagi-lagi) chopping board, sapu tangan orange muda yang senada dengan warna frutang dan beberapa butir kurma. Kamera saya setting manual dengan komposisi seperti ini :

  1. Shutter speed 1/40 (ternyata  walau tidak memakai bilangan 1/ratusan bisa juga member efek freezing). Saya tidak menggunakan speed 1/ratusan, karena kemungkinan besar cahaya yang diserap sensor kamera akan semakin sedikit, dalam kata lain gambar yang kita hasilkan akan gelap. Belum lagi, pencahayaan saat itu terbatas pada lampu dan flash yang saya bouncing ke langit-langit.
  2. Apperture f 5.3
  3. ISO 200. Sangat tidak disarankan memakai ISO di 400 kecuali kalian ingin membuat efek NOISE pada gambar yang terekam.

Oh iya, satu alat yang paling penting adalah tripod. Selain untuk mengurangi efek shaking pada gambar, tripod juga memudahkan kerja kita yang hanya memiliki 2 tangan dan tanpa asisten. Prosesinya kurang lebih seperti ini :

  1. Tata gelas berisi frutang di atas meja yang sudah di alasi background, dll
  2. Siapkan kamera dan flash  yang sudah terpasang di atas tripod dan posisikan ia untuk mengambil gambar dalam bentuk portrait (suka2 sih, ini soal selera)
  3. Atur fokusnya, agar saat kurma dijatuhkan ke dalam gelas kita tidak perlu repot2 mengatur fokusnya, bisa-bisa ketinggalan moment cipratan air pula.
  4. Dan terakhir, saat tangan kanan memegang shutter maka tangan kiri siap-siap di atas gelas untuk menjatuhkan kurma. Ini melibatkan proses koordinasi dan gerak reflex yang complex..haha. Saat tangan kiri menjatuhkan kurma hitungan sepersekian detik tangan kanan langsung menekan tombol shutter….dan jepret, jadilah seperti ini jadinya :

 

Butuh sekitar 5x  jepret untuk dapat hasil yang seperti ini. Pesan moralnya : keep jepret jangan pernah menyerah untuk hasil yang kita inginkan. Yah, walaupun perasaan kesal sampai ingin lempar kamera sempat mendera saat gagal terus membuat efek beku pada gambar ini *hayah, tapi seketika urung dilakukan karena kamera’a mahal jadi sayang :D.

Evaluasi pada gambar kali ini : cahaya dari flash yang saya bouncing ke langit2 tidak merata keseluruh bagian objek. Ruang gelap pada akhirnya masih juga muncul di belakang gelas, sedangkan cahaya dari samping kiri menjadi berlebih (yang ini kenapa ya?). Ah, semakin penasaran mencoba pencahayaan natural bersama dengan jajaran reflector buatan.

– Behind The Scene-