[Lighting] Kok cahayanya ga rata ?

[lighting] Kok cahayanya ga rata ?

Bismillah…

Masih pada hari yang sama dengan pemotretan batagor. Scotel menjadi salah satu model saya pagi ini. Reflector saya letakkan sama seperti saat memotret batagor, hanya saja posisi kamera saya letakkan berlawanan dengan cahaya matahari. Jeprat jepret, ternyata muncullah efek bayangan :

 

Setelah berganti posisi kamera, searah datangnya cahaya :

 

Saya jadi mikir, letak kamera yang baik saat memotret itu seperti apa ? apakah berlawanan ? searah ? atau disamping datangnya cahaya matahari ? huaaah..rieut. Humm..dan fungsi reflector sendiri saya pikir untuk meminimalisir bayangan, tapi ternyata tidak juga :D, apakah saya yang salah meletakkan reflectornya ? ada yang bisa bantu saya menjawab pertanyaan ini ?.

 

Difoto ini, saya benar-benar merasakan kehadiran reflector menjadi tidak terlalu berarti, karena cahaya yang harusnya rata malah tidak merata, sama seperti tidak menggunakan reflector. Benar-benar butuh pencerahan tentang ilmu pencahayaan nih.

 

[Lighting] Kok Ada Bayangan ?

[Lighting] Bayangan ?

Bismillah…

Pagi yang cerah namun terkadang mendung. Batagor menjadi inspirasi saya pagi ini. Yosha…pagi ini saya putuskan untuk kembali bereksperimen dengan cahaya buatan Allah. Ada satu lokasi kesukaan saya, yang cahayanya tumpah ruah disana, itulah dia kosan Flo. Setelah membenahi segala peralatan tempur saya, dari mulai kamera, alas untuk background, reflector, piring saji sampai mangkuk-mangkuk kecil, maka saya berangkat ke kosan Flo.

KOSAN Flo

Pukul 09.30 WIB, walau agak mendung namun cahayanya  cukup untuk sesi  pemotretan kali ini.

“Flooo…gw minjem cermin dari kamar lo yeee, meja bundernya juga, ah mulai sekarang kosan lo gw tetapkan sebagai studio mini gw foreveeer”. Pagi yang indah untuk teriakan saya dikosan orang :D.

Setelah memasang taplak putih, dilapisi dengan taplak merah untuk sesi pertama lalu ditambah dengan memasang-masang reflector disana-sini. Kurang lebih beginilah kondisi saat itu :

 

Hummm…sebenarnya saya masih agak bingung dengan konsep pencahayaan dan peletakkan reflector agar cahaya yang jatuh ke makanan menjadi bagus. So, semua reflector itu saya pasang sesuai dengan intuisi saja. Reflector alumunium foil saya letakkan berlawanan dengan arah datang cahaya untuk memantulkan kembali cahaya bagian belakang makanan. Cermin saya letakkan disamping makanan untuk memantulkan cahaya dibagian samping makanan. Jepret-jepret, dengan settingan mode manual (gaya), ISO 100 (ISO 200 membuat makanan menjadi sangat terang benderang), f 5.6 atau 5.3, Speed 1/30 – 1/1000 sesuai dengan kuatnya cahaya matahari yang datang, dan posisi kamera saya searah dengan datangnya matahari untuk menghindari bayangan makanan ikut terpotret (bener ga siiiih ? please help me T_T).  Seperti ini hasilnya :

dan ini :

Ada satu yang mengganggu, cahaya pada jam 09.30 – 11.00 WIB menimbulkan efek bayangan dari benda-benda yang menjadi objek foto. Contohnya ini :

Tangan teman saya saat menuangkan saus kacang pada batagor akhirnya membuat efek bayangan pada foto ini. Saya sudah mencoba beberapa posisi datangnya tangan agar tidak muncul efek bayangan, tapi nihil, bayangan tetap muncul. Menutupi sebagian piring…huaaah lieur sodara-sodara, ada yang bisa bantu saya bagaimana caranya agar bayangan tidak lagi muncul ? Inilah tantangannya saat kita memakai cahaya alami, bertarung dengan bayangan. Boleh ga ya, bayangan2 seperti ini muncul dalam food photography ?  yah, saya masih awam pada dunia ini.

 

Kasus serupa :

 

[Jepret Lagi] Bread Talk, Background dan Warna

[Jepret Lagi] Bread Talk, Background dan Warna

Bismillah…

Dulu, roti yang paling saya sukai hanya satu : Sari Roti (Kampringan..hehehe), alasannya ? saya hanya mengenal satu merk itu saja :D. Jika bicara waktu sekarang, maka roti yang paling saya sukai adalah : Bread Talk. Hanya beda Rp 3.000 dan saya akan mendapatkan rasa yang jauh berbeda.

Hari ini, saya dan Flo (sahabat saya, bukan peliharaan saya :p) sepulang mengajar meniatkan diri karena Allah untuk menyambangi Bread Talk di Cihampelas Walk (Gaya amat ya mainan gw..hehe). Tenang, ini bukan cerminan bahwa kami sosialita ya, toh dalam jangka waktu 3 bulan terakhir baru kali ini saya datang kembali ke Bread Talk (klo 1 Oktober kemarin saya mah ditraktir judulnya :p).

Mencari Croissant judulnya. Ya, salah satu jenis puff pastry kesukaan saya. Setiap kali ke Bread Talk, maka Croissant menjadi makanan yang wajib di ambil. Teksturnya yang renyah, dengan rasa dan aroma butter yang kuat menjadi factor x kenapa saya menyukai roti ini, selain karena rasanya tidak terlalu manis (maklum, bukan pecinta makanan manis secara muka saya sudah sangat manis *huek).

Selain memenuhi hasrat makan croissant, maksud lainnya adalah hunting model yang akan saya jadikan korban eksperimen kali ini. Memandangi etalase dengan cake presentation yang berjejer indah hanya membuat hati tersayat-sayat, harganya itu loh saudara-saudara, tak terjangkau bagi kalangan irit seperti kami-kami ini. Hah, hanya bisa mengelus dada dan mencari alternatif model lainnya. Lalu jatuhlah pilihan saya pada Bread Butter Pudding. Dulu saya pernah mencicipi jenis pudding ini saat Tugas Akhir. Yuni, teman saya satu kelas mengambil tema “Aneka Puding Bakar” sebagai  tugas akhirnya, dan Bread Pudding itu menjadi salah satu menu yang disajikan saat itu. Penampilannya tidak seatraktif jejeran cake mahal di etalase, inilah yang membuat saya tertantang untuk mengabadikannya.

Flo mengambil Cheese cake dan Pizza, ia relakan dua makanannya itu saya potret terlebih dahulu sebelum dibantai habis. Jadilah 4 model saya dapatkan hari ini, Croissant, Bread Butter Pudding, Pizza, dan Cheese Cake.

Di Studio Abal-abal 

Matahari malu-malu menatap bumi siang ini, sehingga cahaya yang masuk melalaui jendela tanggung  di kamar saya menjadi semakin sedikit. Eksplorasi cahaya natural hari ini gagal total, so flash dan lampu kamar resmi menjadi pembantu saya dalam eksperimen kali ini. Konsep untuk para model saya buat simple saja. Hanya bereksplorasi dengan warna-warna pada property untuk menambah kekuatan makanan yang saya foto. Kalo di dalam dunia busana biasanya memakai warna-warna yang selaras. Maka dalam dunia boga, warna-warna tabrak lari seringkali digunakan. Misalnya, kuning dipadukan dengan hijau atau merah, dll. Oh iya, untuk teori tentang warna bisa dibaca disini, semoga bermanfaat.

Seperti iniiiii :

CHEESE CAKE PHOTO SESSION 

 Cheese Cake-1

Cheese Cake-2

Cheese Cake-3

BUTTER BREAD PUDDING PHOTO SESSION

Bread Butter Pudding-1

Bread Butter Pudding-2

Bread Butter Pudding-3

CHOCO CROISSANT PHOTO SESSION

PIZZA PHOTO SESSION

Pizza-1 dan ga fokuuuus….sebel : (

Pizza-2…fokusnya malah dibagian belakang : (

Nah, sampai hari ini saya masih penasaran bagaimana mendapatkan efek backlight pada background. Biasanya sih backlight didapatkan saat kita memotret, posisi lensa menentang arah datangnya cahaya. Tapi, karena sistem pencahayaan yang terbatas pada kamar saya (Masih nyari-nyari spot yang enak dikosan) maka saya hanya bisa mengandalkan flash eksternal saja. Sempat terpikir membeli lampu belajar untuk pencahayaan, tapi  budget bulan ini masih super terbatas. Background, ya saya bereksplorasi dengannya. Kerudung putih andalan saya yang warnanya sudah menjelma menjadi putih gading saya gunakan sebagai background. Dan membuat saya sakit jiwa seorang diri. Bukannya backlight, eh jadi kesan vintage yang muncul dalam setiap foto saya kali ini, ia timbul dari kerudung putih gading itu. Mungkin saya harus segera membeli Styrofoam atau karton putih -_-‘.

 

Oh lensa 35 mm….kalo pake lensa tele kudu sabar nyari fokusnya….huaaah…

[Lighting] Flash Built In vs Matahari

Bismillah….

Pernah dengar fatwa seperti ini : “Haram hukumnya memotret makanan menggunakan flash built in udah gitu dengan prinsip direct flash”. Hahahay, yang pasti fatwa itu tidak dikeluarkan oleh  MUI atau ulama-ulama lainnya, melainkan dikeluarkan oleh fotografer makanan. Ok, agar lebih paham mengenai fatwa tersebut, saya akan menunjukkan perbedaannya :

Dengan Flash Built In dan prinsip direct flash :

Dengan cahaya matahari :

Cahaya yang dimunculkan dari Flash (khususnya flash built in, atau flash bawaan kamera) sangat keras, sehingga tekstur dan kontur (halagh) dari makanan menjadi tidak lagi nyata. Sedangkan cahaya yang muncul dari matahari lebih lembut sehingga detail pada makanan yang kita foto menjadi lebih nyata. Kalaupun harus sangat terpaksa menggunakan flash, maka gunakan bantuan flash external yang dipantulkan ke langit-langit.

[Jepret Lagi] Lighting versi suka-suka gw

Bismillah…

Setelah berkelana kesana kemari mencari ilmu mengenai lighting yang cucok untuk food photography juga harus murah meriah. Akhirnya, dari beberapa blognya foodie blogger saya menemukan cara yang paling mudah, yaitu menggunakan lighting buatan Allah SWT alias Cahaya Matahari :p.

Setelah membaca prinsip-prinsip pencahayaan dari blognya mba Tika Hapsari Nilmada, jadilah esoknya saya langsung menyiapkan peralatan pendukung pencahayaan yang murah meriah. Reflector abal-abal yang dibuat dari : karton tebal (klo saya pakai map :p) dan gulungan alumunium foil yang di tempel ke atas karton tebal.

Saking niatnya, karena kamar saya memiliki jendela super nanggung (baca kisahnya di blog ini ye) maka saya menginap di kosan teman yang memiliki jendela super lebar, dan kabar baiknya memiliki pencahayaan yang sangat memadai untuk eksperimen kali ini. Tepat pukul 8, karena konon kabarnya cahaya yang paling baik berkisar pada pukul 8 – 11 (iya bukan? koreksi klo salah :D). Saya langsung menyiapkan segala peralatan pendukung  eksperimen ini.

1. Meja yang di taruh dekat jendela

2. Background untuk sang model

3. White board yang tadinya difungsikan untuk reflector, lalu berubah fungsi menjadi senderan background :p

4. Property lainnya untuk mempercantik penampilan sang model. dan

5. Reflector unyu2 beserta benda lain untuk menyanggahnya.

Kurang lebih seperti ini suasana di kosan saat itu :

ya..cahaya matahari muncul dari arah kiri lalu reflector saya letakkan di belakangnya agar cahaya lebih merata mengenai objek. Dan jadinya seperti ini :

agak Over exposure ga saudaraa ? hehehe

yang ini, saya sedang bereksplorasi dengan prinsip rule of third

Pake editan ganas..vintage :p

Untuk gambar yang ini, saya tidak menggunakan reflector..nyata bedanya bukan ? agak gelap, lalu sisi sebelah kanan menjadi lebih gelap dibandingkan sisi sebelahnya.

 

Model 2 : Permen Station Rasa (Cahaya pada pukul 09.00 dan perfect)

Berikut adalah suasana pengambilan gambar :

Cahayanya lebih merata bukan?

Bandingkan dengan yang tidak menggunakan reflector :

 

[Jepret Lagi] Beverage Photo Session

[Jepret Lagi] Beverage Photo Session

Bismillah….

Kembali iseng. Tiba-tiba frutang yang ada di jejeran rak piring mendadahi saya bahagia. Pasca pemotretan gehu jeletot, maka model selanjutnya adalah frutang. Tapi klo hanya memotret frutang saja, gambar yang dihasilkan mungkin akan menjadi garing. Jadilah saya foto dengan teknik freezing, rencananya saat saya jatuhkan sesuatu ke dalam gelas berisi frutang akan tercipta efek cipratan air.

Pertanyaannya adalah, benda apakah yang akan saya jatuhkan ke dalam frutang ? koin ? benang jahit ? hahaha….alhamdulillah, untungnya saya masih memiliki persediaan kurma sisa Ramadhan kemarin :p. Jadilah kurma saya berikan peran sebagai peran pembantu.

Untuk sesi pemotretan kali ini, saya akan buat konsep yang minimalis saja. Background putih, (lagi-lagi) chopping board, sapu tangan orange muda yang senada dengan warna frutang dan beberapa butir kurma. Kamera saya setting manual dengan komposisi seperti ini :

  1. Shutter speed 1/40 (ternyata  walau tidak memakai bilangan 1/ratusan bisa juga member efek freezing). Saya tidak menggunakan speed 1/ratusan, karena kemungkinan besar cahaya yang diserap sensor kamera akan semakin sedikit, dalam kata lain gambar yang kita hasilkan akan gelap. Belum lagi, pencahayaan saat itu terbatas pada lampu dan flash yang saya bouncing ke langit-langit.
  2. Apperture f 5.3
  3. ISO 200. Sangat tidak disarankan memakai ISO di 400 kecuali kalian ingin membuat efek NOISE pada gambar yang terekam.

Oh iya, satu alat yang paling penting adalah tripod. Selain untuk mengurangi efek shaking pada gambar, tripod juga memudahkan kerja kita yang hanya memiliki 2 tangan dan tanpa asisten. Prosesinya kurang lebih seperti ini :

  1. Tata gelas berisi frutang di atas meja yang sudah di alasi background, dll
  2. Siapkan kamera dan flash  yang sudah terpasang di atas tripod dan posisikan ia untuk mengambil gambar dalam bentuk portrait (suka2 sih, ini soal selera)
  3. Atur fokusnya, agar saat kurma dijatuhkan ke dalam gelas kita tidak perlu repot2 mengatur fokusnya, bisa-bisa ketinggalan moment cipratan air pula.
  4. Dan terakhir, saat tangan kanan memegang shutter maka tangan kiri siap-siap di atas gelas untuk menjatuhkan kurma. Ini melibatkan proses koordinasi dan gerak reflex yang complex..haha. Saat tangan kiri menjatuhkan kurma hitungan sepersekian detik tangan kanan langsung menekan tombol shutter….dan jepret, jadilah seperti ini jadinya :

 

Butuh sekitar 5x  jepret untuk dapat hasil yang seperti ini. Pesan moralnya : keep jepret jangan pernah menyerah untuk hasil yang kita inginkan. Yah, walaupun perasaan kesal sampai ingin lempar kamera sempat mendera saat gagal terus membuat efek beku pada gambar ini *hayah, tapi seketika urung dilakukan karena kamera’a mahal jadi sayang :D.

Evaluasi pada gambar kali ini : cahaya dari flash yang saya bouncing ke langit2 tidak merata keseluruh bagian objek. Ruang gelap pada akhirnya masih juga muncul di belakang gelas, sedangkan cahaya dari samping kiri menjadi berlebih (yang ini kenapa ya?). Ah, semakin penasaran mencoba pencahayaan natural bersama dengan jajaran reflector buatan.

– Behind The Scene-

[Jepret Lagi] Gehu Jeletot Fresh From the Penggorengan

[Jepret Lagi] Gehu Jeletot Fresh from the penggorengan :p

Bismillah

Hari yang syahdu di tengah rintik hujan dan disanalah helm saya yang teronggok di atas motor menjadi kebasahan. Akhirnya menimbulkan efek kedinginan dan kelaparan pada tubuh saya yang hanya satu-satunya ini. Sambil terus mengendarai motor saya berpikir tentang makanan apa yang enak untuk dimakan dalam keadaan dingin seperti ini. Gehu Jeletot, seketika saya memarkirkan motor di pelataran parkiran.

Gehu Jeletot, sudah beberapa bulan ini menjadi primadona Kota Bandung. Bermula dari kios sederhana di depan Alfa Mart Geger Kalong Girang, kemudian menjelma menjadi franchise yang pasarnya merambah sampai ke pelosok Bandung. Idenya sederhana : “bagaimana setiap pembeli tetap bisa memakan gehu (tahu isi.red) namun pedasnya merata, tanpa harus khawatir kehabisan cengek”. Begitulah Gehu Jeletot muncul, seperti namanya yang jeletot (istilah jeletot sendiri saya agak bingung mendefinisikannya :D) rasa dari gehu ini sangaaaatlaaah pedas. Cocok untuk kalian yang sudah lama tidak BAB :p agar lancar jaya.

Cukup dua biji saja dapat membuat perut ini penuh dan mules. Isian cabai, kol, wortel dan daging sapi menambah kenikmatan gehu jeletot ini, apalagi saat dimakan dalam keadaan panas, makin njeletot deh. Ukuran tahunya yang segede gaban membuat uang Rp 2.000,00 tidak sia-sia dikeluarkan untuk satu buah gehu jeletot.

Sesampainya dikosan, saya langsung menyiapkan segala peralatan tempur untuk memotret keindahan sang gehu jeletot :p. Karena keterbatasan property maka saya hanya akan mengambil konsep sederhana untuk sesi pemotretan kali ini. Chopping board, background hitam dari kerudung hitam saya, dan kamera siap menemani eksperimen saya kali ini.

Satu hal yang melonjak-lonjak nakal di pikiran saya adalah : bagaimana saya bisa memotret asap mengebul dari dalam gehu saat ia dibelah 😀. Karena pemotretan dilakukan tidak di tempat penjualan, artinya gehu yang saya bawa dari warung gehu jeletot menuju kosan saya dengan suhu Bandung yang sebegini dinginnya membuat gehu jeletot sudah tidak hangat lagi. Jadilah saya memutar otak bagaimana menimbulkan efek asap panas muncul dari gehu pedas. Dulu saya pernah menonton satu klip tentang tutorial food photography yang didownload dari youtube. Ia memberikan tips untuk menimbulkan efek asap bisa menggunakan asap rokok. Hah, tampaknya cara ini tidak mungkin saya lakukan, secara ga mungkin juga saya yang pakai jilbab ini mendadak beli rokok di warung. Apa kata duniaaa, begitu teriak Dedy Mizwar.

Akhirnya setelah melewati masa kontemplasi yang cukup rumit :D. Saya memutuskan untuk menggunakan : Lilin, korek api, dan kertas sebagai media penghasil asap. Sebelum saya bereksperimen dengan sang model (baca : gehu pedas) terlebih dahulu saya coba memotret media-media tersebut, mana diantara mereka yang menghasilkan asap cukup banyak dan lama keluarnya. Dan kertas yang dibakar menjadi media yang cocok untuk sementara ini, setidaknya sampai saya menemukan cara yang lebih manusiawi lagi untuk menghasilkan asap :p.

Inilah sesi pemotretan paling merepotkan yang pernah saya lakukan, apalagi tanpa asisten yang bisa membakarkan kertas sekaligus memegangkan kertas di dekat objek foto. Tripod menjadi alat yang paling membantu saat itu. Ok kita coba rangkaian langkahnya ya :

  1. Pasang kamera pada tripod dengan settingan yang sudah disesuaikan.
  2. Atur auto fokusnya. Pastikan kondisi kamera sudah siap jepret, karena asap yang keluar dari kertas cukup singkat.
  3. Bakar kertas cukup lama sampai bara cukup banyak.
  4. Saat api mati, dekatkan kertas pada makanan
  5. Langsung jepret….akan lebih baik jika release mode disetting pada mode continuous, artinya kamera bisa melakukan berkali-kali jepretan dalam sekali tekan.

Dan seperti inilah jadinya :

ahaiii..seperti masih hangat kan yaa? benar2 baru diangkat dari penggorengan :D… Tapi untuk mendapatkan satu foto ini saya harus berkali-kali gagal panen :D. Karena keterbatasan manusia (baca : asisten) maka mengarahkan kertas yang dibakar sekaligus menekan shutter adalah saya sendiri. Alhasil, banyak foto yang gagal panen karena koordinasi antara tangan kiri dan tangan kanan tidak kompak, seperti gambar dibawah ini :

* diambil saat uji coba pertama, menggunakan korek api :D. Eh si korek kecentilan minta difoto

* uji coba kedua, menggunakan kertas yang dibakar. Eh, si kertas juga ikut kecentilan pengen difoto 😛

Ya, intinya adalah lakukan apapun juga untuk mendapatkan hasil foto yang kau inginkan. Tapi setelahnya, saya jadi mikir-mikir untuk makan gehu jeletot ini :D, secara udah dipegang-pegang ga karuan, + bonus dikasih asap :p

Gambar yang lain numpang nampang :

–          Behind the scene –

*Beginilah studio abal-abal milik saya bekerja :p

Motret lagi [kue bintang]

Bismillah…

Saya semakin tertarik dengan dunia food photography setelah dapat ilmu dari buku Food Photography Made Easy (nanti klo ada tumpangan online gratis lagi saya coba share tentang isi buku yang luar biasa itu)…

Alhasil, tadi pagi setelah bangun tidur dan belum mandi tiba-tiba saya melayangkan pandangan pada rak makanan di kamar kosan. Ada kentang mustofa, brownies sisa ulang tahun teman yg ditinggalin, roti tawar yang besok kadaluarsa, gulai sayur yang disisain oleh teman-teman hasil bancakan, rendang basi, dan kue kering sisa lebaran dari bude saya yang entah namanya apa tapi berbentuk bintang. Maka jadilah kue tak bernama itu saya beri nama kue bintang (cookies tepatnya). Setlelah berkontemplasi tentang siapa yang akan menjadi model saya pagi itu, maka kue bintang menjadi yang beruntung.

Konsep

Ternyata, pandangan saya tentang food phorography agak meleset dikit. Dulu saya pikir food photography itu sejenis foto macro, apapun diambil dengan jarak super dekat tidak perlu konsep rumit yang penting makanan kita bisa dilihat jelas oleh manusia baik yang minus ataupun tidak :P. Food Photography Made Easy merubah paradigma saya. Konsep diperlukan dalam food photography untuk membuat foto kita lebih hidup, ya foto yang bernyawa itulah poin’a. Sehingga foto yang kita hasilkan mampu memberikan pesan pada khalayak. Dalam kerangka food photography, setidaknya pesan yang ingin disampaikan oleh makanan itu adalah : cocok dimakan oleh siapa, pada saat seperti apa, apa saja bahan-bahannya, bagaimana rasanya, dan yang paling penting foto itu akan berteriak : makanlah akuuu  :p

Ini dia beberapa hasil eksperimen pagi tadi dengan kondisi tubuh tidak hygiene :P..semaua foto ini saya ambil dengan pencahayaan natural..dan ternyata lebih enak cahayanya 😀 lebih natural, ah jadi mupeng beli meja tinggi setinggi jendela kamar saya

Konsep 1 (Untuk si kecil)

Konsep2 (Bingkisan untukmu)

Konsep 3 tanpa konsep :p

Kepada para suhu…monggo dibantai

Foto diniatin (dumpling)

Bismillah….

Bermula dari perbincangan antara saya dengan teman di kampus :

Intan : “eh hesti, kamu teh anak tata boga naha foto-foto di album FB kamu teh ga ada foto makanan sedikitpun?

Hesti : “Hahahaha….biarin ateuh”

Intan : “Sok atuh, fotoin dumpling intan buat PMW (Program Mahasiswa Wirausaha)”

Hesti : “Hummm….soklah asal dikasih dumpling’a :p”

Dan jadilah, setelah kejadian cakap-bercakap itu saya langsung mengamati foto-foto makanan yang ada di  majalah ataupun via om google. Mengamati komposisi dan konsep yang baik, background apa yang bagus, pola-pola food stylingnya, prinsip-prinsip dasar fotografinya, dan property apa yang pas digunakan untuk makanan Cina ini.

Berbekal kepedean tingkat tinggi sayapun langsung menyiapkan :

1. Peralatan memotret (DSLR Olympus E-510 ; Lensa Macro 50mm F 2.0 ; External Flash ; Tripod)

Kenapa saya menggunakan DSLR ? selain karena sudah rezekinya saya punya DSLR (tepatnya membajak DSLR kakak saya). DSLR memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan kamera saku. Salah satu diantaranya saya bisa memilih ISO dengan leluasa, bisa menggunakan lensa yang sesuai untuk food photography, bisa menyetting kamera dengan lebih leluasa.

Kenapa saya menggunakan Lensa 50 mm F2.0 ? karena lensa ini memang cocok untuk memotret produk, apalagi bukaan/aperture maksimumnya lumayan besar sehingga bisa menimbulkan efek DOF (depth of field) yang  tipis (background blur menjadi lebih luas, sehingga POI yaitu makanan akan lebih jelas terlihat). tapi karena Olympus e-510 termasuk pada golongan kamera four third..jadi sensor’a ga gede2 amat…ditambah lagi 50 mm ini punya pembesaran 1:2..jadilah saya ga terlalu leluasa saat memotret karena gambar dikamera dengan yang diaslinya jadi dipotong setengahnya (begitu bukan?)…ya daripada pusing sama alat tempur..mending berkarya pada konsep dan ide saja..

External flash ? karena saya yang biasa motret manusia di ruangan gelap, maka sudah punya paradigma bahwa cahaya yang baik adalah cahaya yang muncul dari flash external. selain juga saya tidak memiliki peralatan pencahayaan yang keren-keren amat. (walau ternyata..cahaya natural lebih ciamik)

Tripod : untuk menghindari goncangan dari tangan yang capek menahan bobot DSLR yg lumayan bikin tangan kita berotot.

2. Pendukung dan utama

kamera sudah ada, tinggal peralatan pendukungnya dan ini juga yang utama :

  1. Kain putih sebagai background untuk menimbulkan kesan lebih minimalis pada foto. Karena uang yang pas-pasan, maka kerudung bekas yang warnanya sudah ga putih-putih amat pun bisa menjadi alternative background :p (warna lain juga boleh..ini masalah selera aja)
  2. Property (Piring saji hitam, sumpit, kelakat, chopping board, mangkuk saus dan kecap)
  3. Minyak dan kuas. Untuk membuat kesan dumpling yang mengkilat dan menggugah selera, maka olesi dumpling dengan minyak terlebih dahulu.
  4. Asisten..hahaha, lumayan membantu kita selama proses foto berlangsung
  5. Meja pendek untuk meletakkan objek foto

Di sebuah kamar kosan seorang teman kami pun beraksi, merubah ia menjadi studio mini yang abal-abal. Mengolesi dumpling dengan minyak, menatanya dengan sedemikian rupa (masih menggunakan intuisi :p) di atas meja yang sudah didasari kerudung putih. Memasang lensa dan external flash pada kamera, dan kamera pada tripod. Oh iya, untuk penggunaan external flash, gunakanlah teknik bounce flash (pantul). Artinya flash diarahkan ke langit-langit kosan, beruntunglah kosan kami yang memiliki langit-langit rendah. Teknik ini memungkinkan cahaya yang dihasilkan lebih merata dan bayangan menjadi lebih halus dibandingkan dengan direct flash (flash diarahkan langsung kepada makanan). Untuk sementara, hasil pemotretan dengan teknik bounce flash menghasilkan foto yang lumayan, daripada lumanyun :p. Saya belum bereksperimen dengan penggunaan cahaya alami (matahari) ataupun dengan bantuan reflector, mungkin esok atau lusa kita berjumpa lagi.

3.Settingan kamera yang saya pakai

Mode : Aperture  priority, selain karena saya belum menguasai mode manual :p, mode ini dirasa lebih praktis karena kita hanya mengatur besarnya bukaan lensa (aperture), maka shutter speed dan ISO secara otomatis akan mengikutinya (walau untuk beberapa kondisi saya harus menyetting ulang ISOnya). Dengan menggunak

an mode ini, saya bisa menentukan bukaan lensa dan ruang tajam (DOF) sesuka hati (untuk penjel

asan prinsip bukaan lensa dan DoF tampaknya butuh ruang khusus). Biasanya untuk foto makanan pada sesi ini, saya banyak menggunakan bukaan di f/2.8 a

tau f/3.2. F/2.8 ataupun f/3.2 menurut saya cukup ideal, karena Dofnya tidak terlalu sempit, sehingga satu pieces dumpling dapat terlihat secara utuh, sedangkan background yang blur tetap kita dapatkan.

Ini dumpling daging rasa rendang :

Ini salah satu versi yang pakai bukaan lebih dari f/3.2 (lupa baca exifnya..haha):

Dumpling isidaging :

Dumpling isi daging dengan settingan kamera : shutter priority

Ini kwetiau ubi :

Mohon kritikannya untuk pembelajaran saya :D….maklum kan mau belajar dengan murah tapi ga murahan…salam jepret buat kita semuanya

Foto Cupu Part 2

Bismillah

Tadda…tibalah akhirnya mengontrak mata kuliah Makanan Oriental. Salah satu resep yang kita praktekkan adalah yang disebut dengan Chicken green curry atau kari ayam hijau dalam bahasa nasional Indonesia. Masakan Thailand yang rada-rada mirip sama masakan Timur Tengah pada awalnya bikin saya agak “pusing” juga. Apalagi untuk ukuran saya yang pada waktu itu masih harus belajar membedakan antara jahe, kencur dan lengkuas (hahaha). Alhamdulillah saya selalu praktek dalam kelompok, sedikit tidaknya dapat mengangkat harkat derajat dan martabat saya sebagai seorang wanita :p (numpang keren ke teman).

Kari ayam hijau, dengan santan kentalnya, ulekan cabe hijau agak mirip opor tapi mantab , gurih apalagi kalau kita mau menggila dengan menambahkan kemangi ke dalamnya :p.(rasanya gimana? Entahlah saya juga lupa…hahaha…maklum sudah 2,5 tahun yang lalu *ah semakin menegaskan bahwa saya sudah tua). Saya tidak akan membahas terlalu banyak tentang resepnya, karena saya juga sudah lupa kemana resepnya berada.

Seingat saya, hari itu seperti biasa saya ditugaskan untuk menyusun food presentationnya. Kare hijau yang warnanya tidak terlalu hijau namun menjadi indah dengan santan kentalnya membuat daging ayam menjadi lebih mengkilat. Dengan bar-barnya saya buat sarang burung sebagai alas kare hijau macak-macak ini (entah benar atau tidak hasil yang sudah kami praktekkan ini, tapi seingat saya tidak ada kritik dari dosen…hahah, dan lagi pula saya belum pernah ke Thailand untuk melihat penampakan sebenarnya). Sarang burung dibuat dari mie instan yang sudah direbus terlebih dahulu, kemudian digoreng menggunakan sendok sayur sehingga berbentuklah ia seperti mangkuk. Lalu diletakkanlah ayam dengan porsi makan satu orang ke atas mangkuk mie itu.

Sebuah masterpiece yang abal-abal banget, difoto masih menggunakan kamera saku Fuji Film Fine Pix F-650 dengan teknik seadanya. …hahaha…kenapa? Esok atau lusa Insya Allah akan saya jelaskan tentang teknik pencahayaan ini.