[oprek] Guru Rabbani

“Pendidikan berkualitas merupakan hak semua anak bangsa. Tidak ada batas suku, agama, maupun strata ekonomi. Turun tangan, fasilitasi pendidikan berkualitas bagi mereka”

Kami mengajak kamu untuk turut serta dalam merealisasikan pendidikan yang berkualitas bagi anak-anak bangsa di daerah Cimenyan dengan menjadi Volunteer SD IT Rabbani. Jadilah inspirasi bagi mereka, tumbuhkan benih-benih  mimpi di hati anak bangsa. Didiklah jiwa dan akal mereka menjadi manusia yang paripurna.

Because You are Young and You Care

Kesempatan Berkontribusi

Guru Kelas

1. Muslim/muslimah

2. Mahasiswa dan umum

3. Menyukai anak-anak

4. Berkomitmen mengajar selama 1 semester

Guru Bidang Study

1. Muslim/muslimah

2. Mahasiswa dan umum

3. Menyukai anak-anak

4. Menguasai mata pelajaran SD (Bahasa Inggris/Agama Islam/Olahraga)

5. Berkomitmen mengajar selama 1 semester

Segera lengkapi form-nya di website SD IT Rabbani

Jadwal Pendaftaran dan Seleksi:

1. Pendaftaran (31 Mei – 22 Juni 2012)

2. Wawancara, FGD, & Micro Teaching (30 Juni – 1 Juli 2012)

3. Pengumuman (6 Juli 20120)*

*) waktu disesuaikan

Jangan lupa Follow : @sekolahrabbani untuk informasi selanjutnya

Salam :)

Menjadi Gila itu Indah

Anak-anak SD IT Rabbani pulang sekolah

SD IT Rabbani, hampir 2 tahun saya dan teman-teman membersamai anak-anak di dalamnya. Suka, duka menjadi pewarna disetiap detak waktunya. Dari mulai ditinggalkan ataupun mendadak kedatangan relawan baru. Banyak orang bertanya tentang apa dan bagaimana sekolah ini, setelah dijelaskan maka mayoritas dari mereka kagum dan merespon: “wah keren”. Sekian, lalu tidak melakukan apapun (atau sayanya yang ga tahu..ehehe). Terkadang saya sering tergoda untuk mengatakan: “Bagaimana jika kita lakukan hal yang sama di tempat-tempat yang berbeda, minimal disekeliling kita?”. Tidak lagi menjadi penikmat sebuah cerita dari negeri antah berantah ini, tapi juga jadi pelaku. Ya, tidak hanya menjadi penikmat cerita perjuangan para pahlawan Indonesia, tapi juga bertekad untuk meneruskan perjuangannya yang saya yakini belum usai. Minimalnya, dengan membuka akses seluas-luasnya untuk pendidikan anak bangsa. Bisa pilih peran, menjadi supporting atau terjun menjadi pendidik? Itu adalah pilihan, yang pasti jangan lagi menjadi penonton 😀.

Pada sebuah kesempatan wawancara tentang SD IT Rabbani dengan salah satu media, saya pernah ditanya “bagaimana tahapan menyelamatkan sekolah yang hampir tutup?”. Boleh saya ulas sedikit kegilaan kami saat itu?. Baiklah.

Modal pertama yang dibutuhkan untuk menyelamatkan sekolah yang hampir bubar adalah kepedulian. Setidaknya saya terinspirasi oleh kata-kata Stacey Bess dalam film Beyond the Blackboard (wajib ditonton), “You don’t need unusual skills, you don’t need special training, you just have to care”. Jika mata kepedulian kita mulai kehilangan kepekaannya,  setragis apapun kondisi manusia disekitar kita maka kita tidak akan tergerak untuk melakukan sesuatu bagi mereka. Jadi ini penting. Saya yakin, mereka yang masih berTuhan (terserah dengan konsep apapun, klo saya pilih ber-Allah) pasti masih memiliki modal pertama dan utama ini.

Modal kedua yaitu Keberanian. Berani untuk menentukan pilihan dan siap menanggung segala konsekunsinya. Ini  mutlak dimiliki, kepedulian tanpa keberanian tidak akan menghasilkan langkah apapun. 2 tahun lalu kami bertindak layaknya anak kecil namun sedikit dipoles dengan pikiran orang dewasa dengan beberapa pertimbangan. Saya pernah diajari satu hal dalam mengambil keputusan: “Bukan yang paling sedikit resikonya yang kamu ambil, tapi yang kamu rasa mampu menghadapi resikonya, sebesar apapun ia itu yang diambil”. 2 tahun lalu kami dihadapkan pada dua pilihan “selamatkan” atau “tinggalkan”. “Tinggalkan” bermakna anak-anak didalamnya akhirnya putus sekolah, dan kesempatan untuk merealisasikan mimpi (memiliki sekolah gratis) hilang (entah akan datang lagi atau tidak). “Selamatkan” bermakna, saya (kami) tidak punya cukup kemampuan membangun sekolah ini, tidak punya cukup dana, tidak punya cukup tenaga, tidak punya cukup waktu dan semua masalah itu kemungkinan akan membuat tahun-tahun awal dilalui dengan sangaaat berat (dan itu terjadi).

Modal ketiga yaitu jadilah pembelajar sejati. Modal ketiga ini saya yakini mampu menyelesaikan konsekuensi yang sudah saya sebutkan di atas. Saat terjun di dunia yang sama sekali tidak saya ketahui ini, saya banyak meraba dalam gelap. Walaupun kuliah di Universitas Pendidikan, saya merasa kosong se kosong-kosongnya tentang manajerial sekolah dan hal ihwal tentangnya. So, jangan malu menjadi orang goblok (meminjam istilahnya Bob Sadino), orang yang merasa selalu goblok pasti akan terus mencari ilmu yang tidak ia ketahui.

Modal keempat bersabar dalam kerja kerasmu. Sabar itu tidak sama dengan menyerah kalah pada ujian, tapi terus berusaha melalui semua ujiannya. Setelah mengambil keputusan membangkitkan kembali SD IT Rabbani dari tidurnya yang berkepanjangan, bukan berarti hari-hari dilalui dengan lancar-lancar saja, oh, bahkan semua dilalui dengan begitu banyak masalah. Bagi saya, guru terbaik adalah Allah. Nikmati saja setiap kesusahan dan kesenangan yang hadir, ini semua pasti berlalu dengan ujung yang semoga indah. Saat kita mampu menerima ini sebagai pembelajaran, maka kegagalan-kegagalan yang terjadi menjadi pelajaran yang berharga, dan niscaya kita pun akan diberi kesempatan untuk juga belajar tentang keberhasilan. So, prinsip yang saya pakai sekarang adalah: lakukan apa yang bisa dilakukan untuk membuat semuanya menjadi lebih baik. Yah…walaupun sering tergoda untuk kembali gagal. Faktor godaannya adalah diri sendiri, baik tidak konsisten dengan target, malas, tidak bertanggungjawab, dan sifat-sifat setan lainnya. Arrrghhh…sabar dalam perjuangan itu sesuatu banget deh (perang yang berat namun seru).

Modal kelima yaitu bangun networking seluas-luasnya. Ajak lebih banyak orang untuk bergabung dalam proyek peradaban ini. Syurga masih terlalu luas untuk kamu sendiri, hehe. Semakin banyak orang bergabung dalam proyek tersebut, semakin banyak ide, semakin banyak tenaga, semakin banyak ilmu, semakin banyak dana (loh..hehe). Oh iya, sedikit intermezzo, tampaknya menjual kemiskinan ataupun kesedihan untuk proyek-proyek sosial seperti ini, harus segera ditinggalkan. Mereka miskin itu memang realitanya, tapi bukan itu fokusnya, yang kita bagi adalah semangatnya, potensinya, perjuangannya dalam menjalani hidup. Itu intinya. Berbagi cerita saja, saya sering sedih saat orang datang ke SD IT Rabbani membawa hawa “how pity you are”, lalu mereka membagi uang, tas atau apapun itu kepada anak-anak dengan cuma-cuma.  Semakin lengkaplah potret kemiskinan mereka, dan semakin sadarlah bahwa mereka memang miskin tak berdaya, dan harus terus diberi percuma. Tidak, tidak seperti itu seharusnya. Datanglah dengan membawa “wah, ini punya banyak potensi, saya coba bantu mengembangkannya”, maka yang hadir adalah motivasi, ilmu-ilmu yang mendukung potensi anak ataupun sekolah semakin berkembang, dan hal-hal lainnya yang dapat membantu semua potensi itu berkembang sempurna. Bahasa mudahnya, beri kail jangan ikannya. Yah, saya pun masih belajar membentuk kultur seperti ini.

Tampaknya lima modal cukup untuk melakukan sesuatu bagi mereka. Lakukan apa yang harus dilakukan, bukan untuk mencari popularitas tapi lakukan untuk mereka anak bangsa demi Allah. Mengutip judul buku Hidden Heroes-nya Kick Andy “Para Pahlawan Sunyi dengan Tindak Nyata”,  maka bekerjalah dalam kesunyian. Eh bukan berarti ga boleh ditulis-tulis di blog ya, intinya sih ga boleh riya itu aja…haha. Niat publikasinya bukan: “ini loh gueeee…keren kan :p”, tapi “bantu laaah…gue ga sanggup kerja sendirian T_T, butuh lebih banyak orang dalam proyek ini”.

Sekian, selamat mengukir mimpi di kertas dan realisasikan dalam dunia nyata. Indonesia butuh kita untuk berubah. Than cursing the darkness, light more and more candles. BTW ada yang mau berbagi ilmu di SD IT Rabbani? (hehehe…iklan).

Di Persimpangan Kanan Jalan

Di persimpangan kanan jalan. Syndrome yang mungkin biasa dialami oleh mahasiswa yang akan melepas status kemahasiswaannya. Begitupun saya beberapa waktu belakangan. Hampir mual saya berpikir dan merenung tentang “gambaran hidup” saya pasca sidang ini. Bingung, tepat seperti kalimat ini: Di Persimpangan Kanan Jalan. Lintasan-lintasan mimpi, passion, idealisme, realita, dan konsep-konsep diantaranya bercampur menjadi satu. Belum tergambar petanya. Banyak ketakutan menghadapi hidup yang nyata di dunia yang fana datang silih berganti. Ah, seperti tak punya Allah saja.

Di persimpangan kanan jalan. Saya merenung, atas jejak-jejak yang pernah saya tinggalkan. Atas mimpi yang masih terus diperjuangkan, dengan kondisinya yang belum sempurna. Atas pergulatan antara mengabdi atau ego semata. Atas kebutuhan saya akan penopang kehidupan. Argh…

Melihat deretan kolom job vacany di koran-koran, di website-website, di job fair-job fair. Kemudian, saat kaki sedikit melangkah, tawa anak-anak di sekolah itu kembali terlintas. Seketika menjelma menjadi deretan foto penuh senyum anak kecil dari sebuah desa bernama Cimenyan. Kembali, tawaran datang silih berganti, dengan bilangan-bilangan rupiah yang membanggakan. Dan wajah guru-guru yang pernah saya jebak di sekolah itu melintas dalam pikiran, mengetuk pintu hati. Tak tanggung-tanggung mereka juga membawa deretan harap dan mimpi anak-anak juga mimpi mereka sendiri. Ini tamparan. Inilah konsekwensi yang amat sangat terkutuk. Kerja dan tinggalkan mereka. Tak bisakah keduanya?

Dahulu kala, saya pernah begitu bersyukurnya pada sang Khaliq, atas mimpi yang didatangkan begitu cepat. Namun di persimpangan jalan ini, kelebatan-kelebatan nakal pikiran saya berlompatan tak karuan. “Tinggalkan…tinggalkan sajalah…kamu juga punya kehidupan”.  Ini ujian.

Argh…

Inilah saya, berhenti sejenak mengeja makna M.E.R.D.E.K.A. Untuk apa saya hidup? sekilas, kata-kata Hugo dalam film Hugo Cabret terlintas “Mesin diciptakan pasti punya tujuan, begitupun manusia. Mesin rusak jika tidak punya tujuan, begitupun manusia, rusak saat tak punya tujuan hidup”.  Dan,  beberapa kata  yang pernah terlontar kepada mereka yang konon mencari inspirasi, dari saya yang juga bingung pada hidupnya sendiri.  Tentang Soekarno dan Hatta, yang meninggalkan seluruh kenikmatan dan kesempatan hidup lebih baik, untuk berjuang mengantarkan Indonesia menuju pintu gerbang kemerdekaannya.  Ah, ini tamparan.

Dan lagi, inilah saya yang tiba-tiba di berikan petuah oleh seseorang:

“Udah pernah baca blogku tentang Membangun Desa dengan Kekuatan Cinta?”, nah si kades ini pernah bilang klo tuannya itu adalah Allah SWT, jadi yang gaji dia pun Allah. Jadi ga khawatir klo ga punya uang, karena Allah punya rezeki yang lebih baik, ngerti kan maksudku?”

Menurut saya, itulah M.E.R.D.E.K.A. Tak takut ia jalani hidup, karena Allah ada bersamanya. Tak perlu ia gadaikan mimpi ataupun integritasnya demi sekarung Rupiah.

Begitukah hidup yang akan saya gambarkan?Semoga ini mudah, atau setidaknya saya tetap sanggup menjalaninya dengan bimbingan Sang Penggenggam Alam Semesta beserta isinya, Penggenggam Rahmat, Penggenggam Hidup. Sutradara dan Pembuat Skenario terbaik. Semoga.

SD IT Rabbani, tadaima. Ada konsep yang tertulis di lembar laptop itu. Ada konsep yang menagih direalisasikan. Untuk fasilitasi mimpi kalian, mimpi saya juga, mimpi kami. Bismillahirrahamanirrahim.

Selamat datang dunia. Selamat datang ujian di setiap akhir pembelajaran. Selamat datang, ya selamat datang. Ingatkah? Allah selalu punya alasan untukmu tetap di sana, perjuangkan mimpi mereka.

Jebakan Berkah di SD IT Rabbani

Image

Anak-anak SD IT Rabbani

Apa yang membuat saya berada di SD IT Rabbani? Jawabannya adalah jebakan berkah dari Allah Swt. Bukan meneruskan sekolah yang sudah terakreditasi dengan kondisi siswa serba berlebih. Kami harus membangun sekolah yang mewariskan dua hal: bangunan dan anak-anak didik. Anak-anak didik yang jika kalian mendengar kisahnya, pasti tergerak hatinya untuk memerintahkan otak menitikkan air mata. Atau tergerak untuk menyelamatkan hidup mereka.

SD IT Rabbani, hanya 45 menit dari Geger Kalong Girang –tempat saya kost– jika naik motor dengan kecepatan 60 km/jam dan kondisi jalan yang tidak macet. Dekat dengan Saung Angklung Udjo jika naik mobil F-1. Jalannya menanjak curam, delapan tanjakan yang harus dilalui untuk sampai di SD IT Rabbani. Setelahnya saya harus masuk ke dalam hutan dengan jalan bertanah liat yang hanya muat dilewati satu mobil saja.

Hujan terkadang menjadi hal yang tidak kami harapkan disana. Jika hujan datang tanahnya berubah menjadi kubangan, berkuah dan licin. Sesekali saya hampir terjatuh, atau slip ban. Kaos kaki kotor, begitupun dengan alas kaki. Itulah SD IT Rabbani yang terletak di Republik Rakyat Cimenyan (RRC). Mengapa demikian? Karena itulah kondisi sebuah desa bernama Cimenyan. Dekat dengan kota, dekat dengan pusat pemerintahan provinsi, namun masih sangat terbelakang. Ia seperti negara yang berdiri sendiri, belum merdeka.

Memang tidak setragis kisah Laskar Pelangi, kisah jembatan “Indonesiana Jones” di Lebak, ataupun kisah para Pengajar Muda di Indonesia Mengajar. Namun, ia memiliki kisahnya sendiri, warnanya sendiri. Ia membuat saya tidak perlu berbondong-bondong bersama 10 ribu pemuda lainnya mengikuti seleksi Indonesia Mengajar, apalagi seleksi Girl Band. Karena semangat Indonesia Mengajar (mendidik) telah lebih dulu hadir di Cimenyan.

Di sebuah bangunan yang juga tidak reot. Saya mendapati 31 anak dengan keunikannya masing-masing, dengan latar belakangnya masing-masing, dengan keperihan hidupnya masing-masing. 31 anak yang sangat senang bermain, berlebihan tenaga, terkadang jahil, namun sangat peduli pada teman dan adiknya. Cinta sekolahnya namun tidak betah belajar. 31 anak yang tidak tahu dunia luar, terisolir di negaranya sendiri, RRC.

31 anak yang bingung memikirkan cita-cita. 31 anak yang belum memiliki ketertarikan pada ilmu dan mencari ilmunya sendiri. 31 anak yang masih bingung memahami maksud bacaan. 31 anak yang sulit berbahasa Indonesia. 31 anak dengan tawanya yang riang , dengan celetukan-celetukannya yang ringan, dengan kecerdasan alami yang menawan. 31 anak yang datang ke sekolah dengan sandal. 31 anak dengan kecerdasannya yang menawan.

Jika pada suatu kesempatan ada seseorang bertanya, “apa goalnya sekolah ini?” Saya pun ingin tersenyum simpul. Saya hanya ingin mereka merdeka. Saya hanya ingin mereka menemukan dirinya yang ternyata luar biasa. Saya ingin membuat mereka mencintai ilmu dan menjadi pembelajar sejati.

Saya hanya ingin mereka sejahtera. Saya hanya ingin mereka menjadi bermanfaat bagi orang lain bagi bangsa. Saya hanya ingin mereka menjadi pemimpin. Saya hanya ingin mereka teguh memegang agamanya. Saya hanya ingin mereka menjadi teladan dan inspirasi. Saya hanya ingin tetap bersama mereka selalu. Seperti sekarang ini, menjadi guru juga murid bagi mereka. Maafkan Ibu belum sempurna berarti bagi diri kalian. Ibu harus tetap berusaha.

Ada yang bilang, “kok mau-maunya?” Saya pun ingin tersenyum simpul. Kerja yang mapan, hidup mewah serba berkecukupan hanya batu-batu loncatan saja, untuk lebih bermanfaat bagi mereka. Saya hanya ingin menyalakan sebuah lilin di tengah gelapnya negeri ini. Saya hanya ingin berkontribusi walau sedikit untuk memenuhi janji kemerdekaan. Agar Ibu saya bangga masih melahirkan pejuang. Saya hanya sedang melakukan investasi untuk negeri ini, melalui pendidikan. Sebelum pada akhirnya raga tidak lagi mampu melakukannya karena terjebak pada kedalaman tanah.

Hai Pak Oemar Bakri… Apa kabar ?