Angkringan Mas Jo
Angkringan = Jogjakarta. Selama 23 tahun saya hidup di dunia, setidaknya sudah 2 kali saya mengunjungi kota keren ini. Satu kali saat study tour saat SMP, satu kali lagi saat study tour SMA. Tau kan study tour? semuanya diburu waktu, ngelantur sedikit bisa-bisa ditinggal bis atau paling tidak dicela rombongan. Jadi, setiap saya ke Jogja tak satu kali pun saya pernah merasakan makan di Angkringan.
Nah, untugnya di Bandung juga ada Angkringan, cukup banyak bahkan. Pertama kali saya melakukan ritual ngangkring di Angkringan adalah di Angkringan Mas Jo. Tepatnya pada bulan Ramdhan 2012 lalu. Karena dengan sebab, garis edar saya lebih banyak berada di Salman ITB. Berkali-kali lewat di depan jalan MBA ITB, lama-lama saya tertarik untuk ikut ngangring di Angkringan Mas Jo.
Takjub melihat deretan nasi bungkus dengan porsi kecil bernama Sego Kucing, berdampingan dengan berbagai jenis sate, dari mulai sate telur puyuh, ati ayam, ampela ayam, kikil, kerang, sampai usus. Tak lupa, ada ceker, tahu dan tempe bacem, serta beraneka ragam gorengan. Sambal hijau tak lupa ikut hadir di atas gerobak dengan penerangan yang sayup.
Aneka Sate dan Sego Kucing
Sego kucing seharga Rp 2.500 disajikan dengan berbagai lauk, ada tongkol (dengan tanda kertas pink), teri (tanda kertas putih), tempe, dan telur (tanda kertas kuning). Porsinya cukup untuk kalian yang sedang diet, yah walaupun kadang kalap, alih-alih diet malah ngambil 5 bungkus sego kucing..hehehe. Aneka sate dijual dengan harga Rp 2.000 (klo ga salah :p). Semua pelayanan dilakukan oleh kita sendiri, ambil yang kita mau, serahkan pada pelayan, maka lauk siap dihangatkan di atas arang.
Berbagai minuman juga ada disini, yang paling maknyus menikmati sego kucing adalah Kopi Joss…hehehe. Saya pernah memesan Kopi Joss. Sang pelayan mengantarkan segelas kopi panas lengkap dengan arang panas didalamnya, dihiasi asap yang mengebul. Semua mata mendadak memandang ke arah saya heran, mungkin mereka aneh ngeliat perempuan unyu minum kopi campur kemenyan.
Ngangkring bareng punggawa Posko Studio 86
Penampakan Sego Kucing
Mas Jo -sang pemilik- dengan suksesnya memindahkan suasana angkringan Jogja ke Bandung. Cahaya yang redup-redup (cenderung gelap sebenernya :p), gerobak kayu berisi makanan, piring dan gelas seng, lesehan, lagu campur sari dan keroncong yang sayup-sayup menggantikan peran pengamen khas Jogja, dan yang paling total adalah…Mas Jo yang menggunakan lurik. Mas Jo dan pelayan lainnya, meski tahu Angkringannya ada di Bandung, dan pelanggannya tak semuanya orang Jawa, ia tetap istiqomah melayani dengan bahasa jawanya yang medhok. Hehehe, menampar saya untuk kembali belajar bahasa jawa, tempat mbah saya berasal.
Mas Jo lengkap dengan baju luriknya
Dengan ramah melayani pelanggan
Mas Jo dan seluruh pelayan sangat ramah melayani. Tak segan-segan ngobrol dengan kami. Bercerita tentang kisah Angkringannya. Nah, gini ceritanya: Angkringan Mas Jo sudah ada sejak 8 tahun lalu di depan MBA ITB. Dulunya, beliau ditawari tempat dagang di Jalan Ganeca, namun ditolak karena ia harus berdagan di atas trotoar tempat orang berjalan. Beliau bilang “Berdagang itu jangan nyusahin orang”. Bagi Mas Jo, konsep dagang bukan cuma untuk uang, tapi juga untuk membahagiakan orang lain, untuk memuaskan orang lain, untuk membantu orang lain dan tentunya memperkenalkan budaya Jawa pada khalayak. Wow, andai semua pedagang seperti beliau.