Kenapa Suka Ngopi?

FGD "Quo Vadis Bisnis Kopi" (Foto. Mang Aat)

FGD “Quo Vadis Bisnis Kopi” (Foto. Mang Aat pake kamera barunya yang ada wifi-an *gayaaa*)

Jumat 20 Sept 2013 pukul 19.00, Chez Moka. Ceritanya saya tetiba dapat undangan dari teman untuk ikut FGD tentang kopi. Wow, tertarik dong saya. Secara agendanya bakal seru banget, dan yang pasti dapet kopi gratisan dari si empunya FGD *modus.

Sebut saja namanya Hilda, mahasiswi S2 MBA ITB yang sedang menyusun tesis tentang proyeksi bisnis kopi kedepan. Berasa dukun gini.

Malam itu, alhasil terkumpul-lah 5 orang yang konon kabarnya suka ngopi. Dia adalah, saya, Flo, mang Aat, Nanaw, dan satu lagi teman mang Aat yang saya sendiri lupa namanya :p. FGD dimulai dengan pertanyaan: “Kenapa sih suka ngopi?”

Karena kita semuanya penyuka kopi, jadilah dengan semangatnya kami nyerocos bla ble blo tentang motivasi kami ngopi. Wah, ternyata beragam banget loh. Ada yang suka kopi karena konon kalo ga ngopi ada bagian yang hilang dari hidupnya *bahasanya rada dilebaykeun saeutik*. Ada yang suka kopi untuk begadang aja. Ada yang suka kopi karena sisi romantisme mendalamnya *FTV mode on*. Ada yang suka kopi karena emang pengen belajar ngopi. Daaan ternyata, motivasi ini amat sangat mempengaruhi perilaku mengopi mereka.

Misal, si A yang suka ngopi karena kalo ga ngopi ada bagian hidupnya yang hilang. Sudahlah pasti, ngopi adalah ritual wajib selama menjalani hari. Si B yang suka kopi karena kisah romantisme masa lalunya, selalu teringat kisahnya saat ngopi. Si C yang suka kopi karena pengen belajar, ya ga harus-harus banget ngopi tiap hari, dan ga sampe jadi ashobiyah pada salah satu jenis biji kopi, hanya senang aja dengan biji kopi dengan segala kerumitannya. Ada juga golongan orang yang “ah, pengen ngopi weh buat temen rokok” maka biasanya ga peduli minum kopi apa, yang penting kopi, termasuk cukuplah minum kopi instant.

Nah, kalo kamu kenapa suka ngopi?

——-

Ngiklan.

Dikasih arahan bagaimana mengoperasikan mesin espresso oleh sang Barista (Foto. Mang Aat)

Dikasih arahan bagaimana mengoperasikan mesin espresso oleh sang Barista (Foto. Mang Aat)

Saya bikin Cafe Latte sendiri loooh di Chez Moka. Rada grogi gitu. Grogi pas mencet tombol grinder. Grogi pas tamping. Grogi pas mengoperasikan mesin espresso. Grogi pas frothing susu. Grogi pas bikin Latte Art. Ah, rangkaian grogi yang bikin cafe latte saya gagal. Alih-alih bikin Cafe Latte, malah jadi Flat White (baca: kopi susu) aja gara-gara salah pas foaming susu. Ah sudahlah, ini kan baru pertama. Toh, Mas Ardi, Baristanya Chez Moka pernah latihan bikin kopi yang enak sampe-sampe harus dilarikan ke Puskesmas gara-gara overdosis kopi (Baca: minum 15 cangkir kopi sehari).

Cafe Latte gagal total tapi bikinin saya sendiri..lalalala

Cafe Latte gagal total tapi bikinin saya sendiri..lalalala

Yellow Truck, Ngopi Langsung dari Roasternya

Yellow Truck

Coffee shop jadi tempat ngopi itu biasa. Klo coffee shop sekaligus jadi tempat me-roasting kopi, itu baru luar biasa. Ya, begitulah Yellow Truck menampakkan dirinya. Ini kali pertama saya menginjakkan kaki di sebuah bangunan yang terletak di Jalan Pajajaran 6A Bandung.

Yellow Truck 3Rumah mungil dengan halaman yang luas, semua tempat difungsikan dengan baik. Jejeran meja dan kursi menyesaki halaman, terlihat orang-orang sibuk dengan kegiatannya masing-masing, sambil minum kopi. Bangunan rumah difungsikan sebagai coffee bar, etalase produk coffee beans dari KOPIKU, kantor, daaaan ruangan untuk me-roasting biji kopi.

Yellow Truck 5

Yellow Truck 2

Yellow Truck lebih mirip laboratoriumnya para pecinta kopi. Bayangkan serunya minum kopi sambil menyaksikkan mesin roasting Diedrich, me-roasting biji-biji kopi yang akan kita minum. Konsumen juga diizinkan untuk mencicipi biji kopi segar yang baru selesai diroasting.

Cerita punya cerita, ternyata Yellow Truck adalah salah satu coffee shopnya PT KOPIKU Indonesia. KOPIKU Indonesia merupakan perusahaan yang fokus mengembangkan para petani kopi di daerah Jawa Barat, Sumatera Utara dan NTT. Menjadikan para petani sebagai partner untuk menghasilkan biji-biji kopi berkualitas.

Ok, balik lagi ke Yellow Truck. Sesaat setelah kami duduk, Mas Irman (Barista Yellow Truck. red) menyapa dengan ramah sambil bilang “Mau kopi apa hari ini?, nyobain Arumanis ya dibrewing pake V60. Gimana?” Wah menarik, setelah kemarin saya mencicipi kopi beraroma dan berasa nangka. Sekarang saya akan mencoba kopi beraroma dan berasa Arumanis. Yatta, ga sabar. Sigap, Mas Irman menata alat-alat seduhnya. V60, timbangan, filter, air hangat 90 derajat, dan biji kopi Arabika Pacet yang difermentasi. Menyeduhnya, dan menyajikannya.

Yellow Truck 10

Yellow Truck 8

Mas Irman menuangkan kopi ke gelas kami, dilanjut mendefinisikan rasa

Mas Irman menuangkan kopi ke gelas kami, dilanjut mendefinisikan rasa

Aroma kopinya belum muncul, rasanya juga masih asam biasa. Setelah didiamkan agak lama, aromanya mulai muncul, tapiii rasanya bikin saya bingung. Antara arumanis dan nangka #eaaaa, ini hidung dan lidah saya yang lagi kacau kayanya. :'(.

Beberapa lama setelahnya, Mas Irman membawa secangkir kecil kopi “Nih gratis, cobain deh Gayo Arabika, coba tebak rasanya” Woooow, akhir-akhir ini saya bertemu dengan coffee shop baik hati yang suka kasih-kasih kopi gratisan :p. Gayo Arabika. Rasa asam lemon dengan pahit yang cukup menonjol juga. Yum. Ah, kata saya juga apa, kopi itu bukan cuma PAHIT. Banyak rasa yang mereka munculkan. Penasaran? cari coffee shop dan Barista yang mau berbagi ilmunya denganmu, maka rasakan serunya menyelami dunia hitam ini. 🙂

Yellow Truck 4

HR61, Kopi Termahal Ketiga Sedunia

Mereka justru menghargai filosofi, sejarah, dan kisah dibalik biji-biji kopi itu

HR-61 Colombia Proud Mary. The Third most expensive coffee at the universe

HR-61 Colombia Proud Mary. The Third most expensive coffee at the universe

Masih ditempat yang sama (Chez Moka. red), di hari yang sama dan jam yang semakin larut. Setelah saya menghabiskan 1 cangkir cafe latte, dan 1 cangkir kecil produk uji cobanya Kang Sandro (Java Preanger, hasil sangraian sendiri). Setelah Kang Sandro mulai mabok kopi. Setelah Kang Aat menghabiskan 1 cangkir affogato, 1 cangkir kecil Java Preanger, dan entah berapa cangkir kopi yang beliau habiskan dirumahnya. Setelah Flo mulai melayang-layang karena sukses minum 1 cangkir Black Hole, 1 gelas Lattegato, 1 cangkir kecil Java Preanger.

Dengan kejamnya, Kang Acek bercerita tentang: HR-61, kopi termahal ketiga sedunia. Tangannya tiba-tiba mengambil setoples kecil kopi berjudul: HR-61 | Colombia | Proud Mary. HR-61 adalah produk yang dikeluarkan oleh roaster Australia Proud Mary. Biji kopinya didapatkan dari Colombia. Apa yang membuat HR-61 menjadi yang termahal ketiga di dunia? effortnya.

Bayangkan, dari satu perkebunan kopi Colombia yang terdiri dari banyak pohon kopi itu. Masing-masing pohon kopi akan diuji rasa dan aromanya. Hanya 1 pohon kopi terbaik yang masuk klasifikasi HR-61. Konon kabarnya, Proud Mary mengeluarkan HR-61 hanya 3 tahun sekali dengan jumlah amat sangat terbatas.

Chez Moka hanya memiliki satu kaleng kopi HR-61 Proud Mary. Itu juga udah mau habis. Untuk 200ml kopi, dihargai Rp 100.000,00. Woooow. Antara kasihan perut, kasihan dompet dan penasaran tingkat tengkulak yang semakin menjadi-jadi setelah menghirup aroma biji kopinya.

Duit hasil sumbangan untuk yang fakir kopi

Duit hasil sumbangan untuk yang fakir kopi

Jadilah, kami sepakat untuk patungan. Ya ampun, fakir kopi banget.

Kang Acek, menyarankan untuk diseduh dengan Cemex. Konon katanya, rasa dari HR-61 akan keluar dengan optimal. Singkat, beliau langsung menyiapkan segala peralatan ritual menyeduh kopi ini. Kami-pun deg-degan dengan lebaynya. Semua berlangsung khidmat.

Menyiapkan filter dan Cemex

Menyiapkan filter dan Cemex (Foto. Sandro)

Menimbang biji kopi yang akan diseduh (Foto. Sandro)

Menimbang biji kopi yang akan diseduh (Foto. Sandro)

Menggiling kopi. Walau bagaimanapun kopi yang baru digiling tetap yang terbaik

Menggiling kopi. Walau bagaimanapun kopi yang baru digiling tetap yang terbaik (Foto. Sandro)

Suurrrr, air hangat di siram perlahan mengelilingi kopi yang sudah digiling. Tunggu 30 detik untuk ekstraksi, dan aromanya menyebar ke seluruh ruangan, bertarung dengan asap rokok *ah ngeganggu aje*. Seduh lagiiiii….menetes perlahan, dan siap disajikan.

Saatnya meyeduh kopi

Saatnya meyeduh kopi (Foto. Sandro). Akhirnya gue in frame juga 😀

Tetes demi tetes

Tetes demi tetes (Foto. Sandro)

Siap diminum

Siap diminum

Secangkir kopi HR-61 tepat dihadapan kami *lebay amat sih gueee*. Prosesi cupping dimulai.

Tahap 1. Sruput

Tahap 2. Kumur-kumur, biarkan kopi menyebar diseluruh rongga mulut

Tahap 3. Glek

Huah, asam-asam semriwing yang unik gimana gitu, nojos langsung ke penjuru mulut. Setelah ditelan, menyisakan sedikit rasa manis dan asam yang lembut. Beberapa kali teguk, barulah saya menebak-nebak. Aroma dan asamnya mendekati rasa Blackberry. Unik dan berkesan.

[FYI] Indonesia patut bangga, karena kopi termahal pertama adalaaaah: Kopi Luwak. Dan sekedar bocoran. Tanggal 16 – 18 Mei 2013 mendatang, akan diadakan Festival Kopi Internasional di Melbourne. Konon, Kopi Sunda Hejo akan membawa produk unggulannya yang diberi nama “Srigalung” (klo ga salah denger). Srigalung ini diprediksi akan menjadi kopi termahal di dunia.

Penasaran kan, saya nanya deh ke Mas Alfin (seseorang yang sukses memborong Proud Mary dari Australia tahun lalu) tentang apa yang membuat kopi dihargai mahal?

Beliau menjawab: Effortnya. Orang barat minum kopi bukan cuma sekedar rasa. Mereka justru menghargai filosofi, sejarah, dan kisah dibalik biji-biji kopi itu. Nah, Srigalung ini adalah biji kopi kualitas terbaik yang diseleksi manual menggunakan tangan.

Hidup kopi Indonesiaaaaaaa. Hah makin penasaran buat blusukan ke kebun-kebun kopi. Ngicipin specialty coffee, memetakan rasa dan memperkaya perbendaharaan rasa.

 

Chez Moka, Brewing Drinking & Discussing

“Niat pendirian Chez Moka ini memang untuk berbagi ilmu kok mba” kata Mas Ardi, salah satu Barista Chez Moka

chez moka-1-10b

Kang Sandro, teman saya yang memiliki kegilaan yang sama pada kopi, pernah merekomendasikan coffee shop Chez Moka untuk disambangi. Kami memiliki kesamaan dalam memandang ritual ngopi. Bukan sekedar untuk nongkrong, ataupun gaya-gayaan biar dibilang nge-hits dan gahol. Melainkan untuk mempelajari keunikan, dan karakter biji hitam ini. Maka, kami-pun memiliki kriteria tertentu untuk memilih coffee shopApa itu? coffee shop menyajikan specialty coffeedan yang paling penting: memiliki Barista yang siap berbagi ilmu tentang kopi kepada para konsumennya.

Dan inilah saya, duduk manis di Chez Moka bersama dengan 3 orang teman saya (Flo, Kang Sandro dan Kang Aat). Coffee Shop yang baru berusia 4 bulan (klo ga salah) ini, beralamat di Sawunggaling no.2 Bandung, dekat dengan UNISBA. Sang owner bernama Kang Cipi.

chez moka-1-7a

Ruangannya tidak terlalu luas. Hanya ada 4 meja kecil dan satu meja panjang khas mini bar tepat berhadapan dengan coffee bar. Meja panjang ini memungkinkan kita menikmati kepiawaian sang barista dalam menyajikan secangkir kopi dan memungkinkan konsumen berinteraksi serta berdiskusi dengan sang barista tentang kopi yang dipesannya. Sementara ini, cuma Chez Moka yang mengizinkan konsumen bebas meracik kopinya sendiri, seperti di dapur pribadi. Untuk orang baru kaya saya, niscaya bingung membedakan mana Barista legal, mana Barista ilegal :p. No Problemo, ga mengganggu kok, justru seru abis.

Eksperimen, nyeduh kopi Java Preanger yang disangrai sendiri oleh Kang Sandro

Eksperimen, nyeduh kopi Java Preanger yang disangrai sendiri oleh Kang Sandro

Kang Acek menyiapkan kopi

Kang Acek menyiapkan kopi

Tetesan crema yang cantik dari campuran 4 kopi arabika

Tetesan crema yang cantik dari campuran 4 kopi arabika

Seperti biasa, saya memesan cafe latte. Sambil jeprat-jepret, saya menikmati bunyi grinder saat menggiling biji kopi. Menikmati aroma kopi yang muncul saat digiling. Menikmati bunyi mesin espresso. Menikmati tetesan crema dalam secangkir espresso. Menikmati suara susu yang difrothing. Dan menikmati kepiawaian barista dalam membuat latte art. Tadda, secangkir cafe latte indah siap dinikmati dan dihayati. [FYI] Caffe latte yang saya nikmati ini full arabika loh (jarang2). Campuran dari Arabika Papua, Mandheling, Toraja dan Enrekang. Unik, rasa asam yang kaya tapi tetap ada rasa pahit yang tak bersisa. Nyum.

chez moka-1-4a

Secangkir Cafe Latte seharga Rp 20K

Flo, ga mau kalah. Kang Acek (barista Chez Moka, 3 tahun menggeluti dunia kopi) mendatangi kami, dan mengusulkan untuk memesan menu Black Hole. Black hole, minuman dengan tiga lapis. Simple syrup + es, perasan Lime, dan one shoot espresso. Tak lama, secangkir Black Hole dataaaang. Kang Acek tak segan duduk bersama kami, sambil menjelaskan bagaimana cara menikmati salah satu minuman yang bertuliskan “Barista Signature” ini.

Black Hole. Bassic espresso, perasan jeruk lemon, simple syrup, dan es

Black Hole. Bassic espresso, perasan jeruk lemon, simple syrup, dan es. Harga Rp 18K

“Minum setengah dulu, sisain setengah espressonya dan simple syrupnya. Baru setelahnya minum habis semuanya”

Flo meng-aamiini. Glek pertama dan glek kedua, diiringi muka dia yang lebay ga karuan sambil teriak “Aaaak, kang rasanya unik bangeetttt, ada dua sensasi rasa. Pahit, asam segar khas Lime. Setelahnya dibilas sama rasa pahit, asam segar, dan manis dingin dari simple syrup”.

Ternyataaa, Black Hole ini murni racikan Kang Acek sendiri, saat mengikuti IBC (Indonesian Barista Competition) 2013 lalu. Konon, beliau terinspirasi dengan sensasi rasa asam khas Bali Arabika. Lewat uji coba panjang, akhirnya ramuan ini tercipta juga dengan komposisi rasa yang unik (sempet nyicipin sisanya :p ).

Sambil terus menikmati kopi, kami bercerita ngalor ngidul tentang kopi. Berdiskusi tentang segala pengalaman Kang Acek selama menjelajahi dunia perkopian. Mendapati fakta-fakta menarik yang bikin saya makin kagum sama biji hitam ini. Bayangin ya, untuk jenis kopi Java Arabika aja kita akan mendapati rasa yang berbeda di setiap daerahnya. Kopi Garut yang rasanya khas nangka, Java Preanger yang asam-asam gimana gitu dan menyisakan manis yang unik di lidah setelah meminumnya, kopi Cibubur, Lembang, Pangalengan, Malabar dan banyaaaak lagi. Setiap daerah punya rasanya sendiri. Beda ketinggian beda rasa, beda tanah beda rasa, beda air tanah beda rasa, beda penanganan beda rasa, beda lama penjemuran beda rasa, beda lama roastingan beda rasa. Jadi kata siapa kopi cuma punya rasa PAHIT? :p

Secangkir Affogato, yang selalu gagal saya foto

Secangkir Affogato, yang selalu gagal saya foto. Harga Rp 25K

Apalagi yang seru dari Chez Moka? 

“Niat pendirian Chez Moka ini memang untuk berbagi ilmu kok mba” kata Mas Ardi, salah satu Barista disana. Niat inilah yang [mungkin] membuat mereka tak segan berbagi ilmu dan berbagi kopi gratisan :p. Bukan kopi milik perusahaannya, tapi kopi milik pribadi sang barista. Mereka menawarkan pada konsumen untuk menikmati kopi milik sang barista  secara cuma-cuma. Saya termasuk yang beruntung, sempat mencicipi uniknya Kopi Garut yang dibawa oleh Mas Ardi, tentu saja secara cuma-cuma :D.

So, klo kamu pengen tau lebih dalam tentang kopi atau pengen nyeduh kopi sendiri berasa di dapur rumah sendiri. Datang ke Chez Moka ya 🙂

Berkelana ke Pulau Pari

Selamat datang dan jalan di Pulau Pari

Selamat datang dan jalan di Pulau Pari (Foto. Mas-mas Pulau Pari)

Saudara, sesungguhnya perjalanan yang berkesan bisa muncul karena 3 hal: perjalanannya indah, perjalanannya konyol dan bodoh, perjalanannya hancur dan carut marut. Dan, inilah saya anak pantai yang lebih senang sama suasana pegunungan dan sungai ketimbang suasana pantai. Menjebakkan diri bersama anak-anak (yang saya claim) komunitas Toekang Poto untuk menikmati perjalanan ke Pulau Pari, Kepulauan Seribu.

Pagi-pagi buta sudah duduk manis di atas angkot menuju Muara Angke, naik perahu kayu besar. Saya sempat khawatir mempermalukan diri sendiri oleh sebab mabok laut. Wajar saja, seingat saya, terakhir kali naik kapal laut adalah waktu SD. Naik di lantai 2 perahu kayu, dan dengan suksesnya terbakar oleh sinar matahari yang terik. Perjalanan laut dari Muara Angke menuju Pulau Pari ditempuh selama 2 jam.

Kepanggang di tengah laut kaya Pi dalam film Life of Pi atau ikan asin?

Kepanggang di tengah laut kaya Pi dalam film Life of Pi atau ikan asin?

Apa rencana saya di Pulau Pari?

Selain pengen banget ngerasain snorkeling (padahal ga jago amat renang), ceritanya saya ingin menantang diri untuk menjelma  menjadi seorang Landscaper. Ini adalah ambisi yang muncul, setelah foto landscape saya di Pantai Siung, dengan suksesnya dicela oleh anak-anak Toekang Poto. “Ini foto pake kamera hape ya?”, begitulah mereka berkata semena-mena :p. Ya gitu deh, saya ga pernah dapet mood untuk motret Landscape.

Jadilah, karena begitu niatnya menjelma menjadi seorang Landscaper, maka saya siapkan segala alat fotografi yang menunjang kegiatan saya di Pulau Pari. Yah kebayang lah, motret pantai itu klo ga motret senja dan sunrise di pantai ya motret ombak dan awan. Beberapa suhu Landscape Toekang Poto, menaruh harapan lebih pada saya. Ada yang bilang “Udah ganti hobi aja kalo ga dapet foto bagus”. Ah, beban mental.

Ok, karena (lagi2) saya akan memotret di PANTAI, dan tragedi Siung cukup memberikan banyak pelajaran, maka saya akan lebih mempersiapkan segala sesuatunya,  agar tragedi itu ga perlu terulang lagi (udah tinggal kamera satu-satunya). So, berikut adalah barang yang saya bawa:

1. Tripod, karena untuk memotret ombak yang halus seperti kapas, kita akan menggunakan teknik slow speed. So, tripod sangat membantu untuk mengurangi efek goyang.

2. Lensa dengan sudut lebar. Yah, sebagai penganut fix lens 50 mm. Akhirnya saya minjem juga lensa 18 – 55 mm ke teman. Kenapa ga wide? ribet bawanya, kegedean. Sudut 18 mm juga cukup lebar kok.

3. Blower, pembersih lensa. Untuk membersihkan lensa dari kemungkinan terciprat air laut yang kejam itu

4. Dry Bag. Walaupun dia ngeberatin tas, tapi sungguh sangat bermanfaat untuk melindungi barang elektronik, khususnya kamera kita dari kemungkinan tercemplung ke air (dan sekali lagi ini air laut brooo, Olympus saya aja udah berbulan-bulan ketahan di ICU gara-gara nyemplung ke air laut).

5. Kain kering berukuran cukup besar. Kain ini efektif untuk menghindari kontak langsung antara tangan yang masih basah kena air laut dengan body kamera.

6. Dan ingat, buatlah bawaan kita sepraktis mungkin. 1 tas gendong dan maksimalnya 1 tas selempang untuk membawa kamera.

Di Pulau Pari

Saya ke Pulau Pari menggunakan jasa travel. Cukup membayar Rp. 290.000 (untuk rombongan di atas 10 orang), kita sudah mendapatkan fasilitas: perahu pulang pergi, guest house nyaman dengan kipas angin, tv dan kasur, sepeda untuk jalan-jalan di Pulau Pari, snorkeling, makan 3x, kamera underwater, tour guide, barbeque dan perahu untuk snorkeling.

Detik-detik menjelang Snorkeling (Foto. Suci Putri Asmara)

Detik-detik menjelang Snorkeling (Foto. Suci Putri Asmara)

Sampai di Pulau Pari pukul 11.00, disambut dengan teriknya matahari, bau laut, orang-orang salah kostum yang memadati pantai, wisatawan yang ga ngerti gimana cara jaga lingkungan, dan es kelapa muda. Sampai di guest house, makan siang sejenak dan dilanjutkan agenda: Snorkeling. Selain takut ketinggian, saya juga takut air laut (itu kenapa saya males mandi :p). Tapi khusus untuk menjajal snorkeling saya berani-beraniin diri. Plung, akhirnya saya nyemplung juga ke laut. Sempet kagok juga pake pelampung, karena dia justru bikin gerakan saya ga teratur, alih-alih gaya batu, saya justru dipaksa untuk pake gaya nyungsep. Sempet bikin glagapan dan dengan suksesnya menenggak beberapa teguk sop air laut yang keasinan. Huah, untung saya pernah belajar sedikit tentang kekuatan men-sugesti diri. Jadilah, dalam tempo sesingkat-singkatnya, saya mampu menenangkan diri dan mengendalikan posisi tubuh agar normal.

Akhirnya, nyemplung juga

Akhirnya, nyemplung juga (Foto. Juli)

Ini kali pertama saya memandang, dan menyaksikkan lukisan Allah di dasar lautan. Indaaaaah banget, berkali-kali saya hanya bilang Subhanallah, sambil berteriak-teriak “Arrrggghhhhhh, nyesel ga jadi minjem kamera underwater punya temeeeennnn”. Ya gitu deh, ternyata kami ga kebagian kamera underwater (maklum, padat wisatawan). Yaaah, pokoknya sebel sih. Tapi hikmahnya adalah, saya disuruh balik lagi ke Pulau Pari tampaknya.

Selanjutnya, kami pergi ke Pulau Tikus. Saya juga ga ngerti kenapa dia disebut Pulau Tikus. Saya memisahkan diri dari rombongan, mulai bertapa untuk memotret deburan ombak *ceritanya*. Sempet ngeri juga, megang kamera dalam kondisi tubuh basah kuyup oleh air laut. Setelah cuci tangan pake air tawar barulah saya berani untuk pegang kamera. Meletakkan kamera di atas Tripod dan mencari spot yang bagus. Sampai disini, saya makin sebel. Kenapa? karena ga ada ombaaaaakkkk, dan langitnya datar. Saya coba foto ombak kecil yang menyapu ranting, dan hasilnya: Over Exposure parah. Semua ini disebabkan oleh saya ga bawa filter GND ataupun CPL, daaan ngerinya, lensa teman saya ga dipasangin filter UV juga T_T.

Setelah gagal dengan suksesnya untuk memotret deburan ombak. Hari itu saya masih punya harapan untuk mengejar Sunset. Memacu sepeda dengan sekuat tenaga, dan sesampainya di Bukit Matahari, saya mendapati langit yang mendung tanpa sunset. *Pingsan*

Senja yang tersisa di Pulau Pari

Senja yang tersisa di Pulau Pari

Malam harinya, kami serombongan ceritanya akan menerbangkan beberapa lampion yang sengaja kami bawa dari Jakarta, dan sengaja juga kami pesan langsung dari Semarang. Tapi, selain Pulau Pari mendadak mati lampu, ternyata, hujan pun turun dengan derasnya. Rencana Barbeque dan Menerbangkan lampion gagal dengan suksesnya. Yang sukses hari itu hanyalah: Sukses tiduuuur dengan lelapnya.

Pagi hari, saatnya mengejar Sunrise. Bangun pagi-pagi, melihat ke luar jendela, dan ternyata: Mendung. Sunrise-pun tak datang hari ini. Aaaarrgghhh. Memacu sepeda ke Pantai Perawan. Berniat memotret ombak, daaan, tak ada ombak. Lautnya dangkal, dan tenang.

Namun, ditengah kegagalan memotret landscape. Mood saya kembali terbangun saat melihat anak-anak Pulau Pari yang dengan senangnya menjadi pendayung perahu di Pantai Perawan. Lagi-lagi, memotret orang justru lebih menyenangkan daripada memotret Landscape *alesan*. Ceritanya bisa dilihat disini.

2 hari yang berkesan karena kekonyolannya. Senang bertemu teman-teman baru yang bahkan dihari pertama perjumpaannya sudah berbincang serius tentang Upil dan Kentut. Salam cinta dan damai, esok atau lusa kita kembali lagi :p. *Remediaaaalll*

Tadda..dadah2 Pulau Pari, kita ketemu lagi (Foto. Suci Putri Asmara)

Tadda..dadah2 Pulau Pari, kita ketemu lagi (Foto. Suci Putri Asmara)

Pameran Foto Karya Anak Merapi

Jadi begini, kenapa akhir-akhir ini saya jarang upload lagi foto makanan dan berbagi tips tentang motret makanan. Itu semua disebabkan oleh saya yang mendadak terjebak dalam sebuah kepanitiaan di komunitas fotografi Toekang Poto *alesaaaaan* :p.

Iya, jadi ceritanya saya dan teman-teman di komunitas itu mau bikin sebuah pameran yang memamerkan foto-foto hasil jepretan anak-anak penyintas (survivor) erupsi Merapi pada tahun 2010. Lah? kok komunitas fotografi malah bikin pameran foto jepretan anak-anak sih? gimana sejarahnya?.

Jadi begini, setelah saya banyak mendengarkan awal mula terbentuknya komunitas ini. Ternyata, kemunculannya tak lepas dari musibah erupsi gunung Merapi yang menimpa warga Sleman dan sekitarnya. Loh? yup, segelintir orang yang punya hobi motret tergerak untuk datang ke sana, membantu mendokumentasikan erupsi Merapi. Laaaah, yang lain kena musibah, bukannya bantu evakuasi kok malah motret-motret? eits, dokumentasi juga penting loooh.  Saat yang lain sibuk evakuasi, maka seorang fotografer bertugas mengabadikan situasi itu untuk dikabarkan kepada khalayak ramai. Agar apa? agar yang lainnya ikut tergerak membantu, dengan apa yang mereka bisa.

Ga hanya disitu kerja2 relawan dokumentasi ini. Pasca erupsi, mereka menerapkan sejenis metode yang bernama Photo Voice untuk sedikitnya membantu anak-anak penyintas erupsi Merapi bangkit dari trauma akan musibah. Nah, Photo Voice ini memanfaatkan ilmu fotografi untuk merekam “emosi” mereka secara jujur. Jadi, anak-anak diajarkan sedikit teknik fotografi, kemudian diajak untuk memotret apapun yang paling mewakili perasaan mereka saat itu. Daaaan, hasil foto inilah yang akan dipamerkan dalam: Pameran Foto Karya Anak Merapi “Belajar dari Mereka”. Jadiiii, dateng kesono yuuukkk, ya kali mau ketemu sayah :p.

Tanggal: 17 – 21 Juli 2013, 13.00 – 21.00 di Blok M Plaza

Info lebih lengkap klik disini

POSTER PAMERAN copy lowres

 

Go Pangan Lokal, Gue Banget

Salah satu perserta kampanye memegang poster berisi seruan mengonsumsi Pangan Lokal

Salah satu perserta kampanye memegang poster berisi seruan mengonsumsi Pangan Lokal

Judulnya, tanggal 19 Mei 2013 lalu komunitas tOekang poto bertugas mendokumentasikan kampanye Go Pangan Lokal yang digagas oleh Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI). 19 Mei sendiri bertepatan dengan Food Revolution Day. Hari dimana masyarakat berkomitmen untuk mengonsumsi pangan lokal yang lebih sehat.

Kampanye Go Pangan Lokal diadakan serentak di 4 kota besar, antara lain: Jakarta (Bundaran HI), Bandung (Car Free Day Dago), Jogjakarta (Malioboro), dan Surabaya (Taman Bulak). Mengusung tagline “Go Pangan Lokal, Gue Banget”, MITI mengajak masyarakat untuk mengonsumsi pangan lokal sebagai usaha memperkuat ketahanan pangan Indonesia. Dalam kampanyenya, mereka membagikan ratusan pangan lokal kepada masyarakat luas.

Pedagang Bandros Dukung Go Pangan Lokal | Foto: Hesty Ambarwati

Pedagang Bandros Dukung Go Pangan Lokal | Foto: Hesty Ambarwati

 

“1 Hari 1 Pangan Lokal”, mulai sekarang mari mengonsumsi panganan lokal yang diproduksi oleh negeri sendiri. Stop Import 😀

Motret dan Jalan-jalan

Sumber: Google

Biasanya, hobi motret sepaket sama hobi jalan-jalan. Ga penting kemananya, yang penting jalan-jalan. Jam terbang saya memang belum sebanyak Trinity, tapi saya pernah merasakan beberapa situasi rumit menjalankan 2 hobi sekaligus: Fotografi dan Jalan-jalan. Kenapa rumit? kurang lebih begini, saya pernah mengalami kegalauan yang nyata, antara harus membawa perlengkapan perjalanan yang cukup (pakaian, peralatan mandi, peralatan perawatan wajah (ahaaa :p), buku, sepatu, obat-obatan, makanan, sleeping bag) dan kamera DSLR yang ukurannya ga santai.

Alangkah tidak serunya, klo bawaan kita jadi segambreng. Udah bawa ransel berisi perlengkapan perjalanan, bawa tas kamera yang ukurannya besar, bawa oleh-oleh..arrrgh. Ga simple banget dah. Pernah waktu saya ke Padang (untuk pertama kalinya), saya meminjam tas carrier yang klo dipake bikin badan saya kelelep. Rencananya, saya akan menaruh kamera di dalam tas bersamaan dengan baju dkk. Alhasil, sulit mengabadikan momment, karena kamera sulit diakses. Kamera-pun menjadi lebih rentan terbentur barang-barang di dalam maupun diluar tas.

Tapi sedikitnya saya belajar juga bagaimana membuat dua hobi itu bisa saling berdampingan dengan mudahnya.

1. Rencanakan perjalanan anda. Analisis karakter tempat yang akan dituju. Panas, sedang hujan, dll. Pastikan akan menginap dimana. Medannya sulit dijangkau atau tidak. Sesuaikan bawaan dengan kondisi dan situasi tempat yang akan kita tuju. Klo kita jalan-jalan ke tempat yang panas, ya bawa aja baju-baju kaos yang menyerap keringat. Bawa kerudung langsung aja, biar ga ribet. Klo ga punya tempat menginap ya bawa sleeping bag, klo jelas mau nginep dimana ngapain juga bawa sleeping bag. Bawa sarung, lumayan untuk kemulan + shalat :p. Klo memungkinkan untuk laundry di tempat, bawa baju sedikit saja. Senter. Peralatan P3K dasar (Minyak telon, betadine, hansaplast). Al-Quran kecil tentunya. Pakaian dingin (klo tempatnya dingin). Sandal yang nyaman dipakai. Handuk kecil. Peralatan mandi. Gunting/pisau lipat. Masukkan semuanya dalam ransel. Alangkah tidak praktisnya jika kita membawa koper jinjing sekaligus membawa kamera. Pokoknya, pastikan tangan kita kosong dari membawa tentengan apapun, agar apa?agar tangan bebas untuk memotret. Kecuali, tas kita akan ditinggal di penginapan. Jangan lupa bawa payung dan rain coat (klo kondisi hujan). Motret sambil bawa payung itu ga banget. Saya pun membiasakan membawa kantong plastik besar, barangkali dibutuhkan untuk melindungi barang elektronik dari hujan, atau sekedar menaruh cucian kotor :p.

2. Melakukan riset terlebih dahulu pada tempat yang akan kita tuju. Hal ini memudahkan kita untuk menentukan “akan memotret apa, siapa, kapan, dan bagaimana kita memotret”. Mecontoh foto-foto orang yang pernah berkunjung ke tempat tujuan kita bukan tindakan kriminal. Melihat dan mengamati foto terdahulu berguna untuk menentukan spot, angle serta teknik. Selanjutnya, tugas kita untuk melakukan eksplorasi lebih pada tempat dan situasi saat kita sudah sampai di tempat tujuan.

2. Masukkan kamera ke dalam tas kamera. Saya lebih senang membawa tas selempang dibandingkan tas gendong. Beralasan, karena punggung kita sudah penuh dengan tas bekal perjalanan. So biarkan pundak yang menanggung beban kamera. Tas selempang menurut saya lebih memudahkan kita untuk mengakses kamera, kali-kali aja ada momment mendadak. Dulu saya pernah bawa kamera di dalam tas punggung. Alhasil, saat kamera sudah masuk ke dalam tas, dan tiba-tiba ada moment yang bagus untuk diabadikan, saya sudah tidak mood lagi mengeluarkan kamera dari dalam tas :p. Setiap tas kamera pasti memiliki sekat di dalamnya. Usahakan tas kamera memiliki sarung pelindung hujan. Oh iya, biasanya tas selempang saya gunakan juga untuk menaruh barang-barang yang butuh akses cepat (ATM/KTP/Uang/Charger Handphone).

Sumber: Google

3. Bawa perlengkapan memotret secukupnya dan sebutuhnya. Sesuaikan dengan tujuan memotret kita. Klo kita ga akan motret dengan teknik slow speed, tampaknya tripod ga perlu kita bawa. Begitupun dengan lensa, bawa lensa sesuai dengan kebutuhan. Ga lucu kan, udah bawa lensa segambreng + berat,  eh tau-taunya ga dipake. Jangan lupa bawa lens pen/tisu lensa, blower (klo cukup ruang), tisu/handuk kecil. Dan isolasi kertas untuk menutupi hotshoe (klo kita motret di pantai, biar ga kena korosi). Charger batere dan memory cadangan jangan lupa dibawa juga :D. Saya sih ga mau se-rempong gambar di bawah ini :p

Sumber: Google

4. Sebenernya, bawa kamera mirrorless lebih praktis ketimbang bawa DSLR. Tapii, gimana ya, ada kepuasan tersendiri saat motret menggunakan DSLR :D.

5. Pelajari terus tentang cara-cara merawat kamera atau pertolongan pertama pada kamera. Jadi klo kamera kita kenapa2, kita ga gagap lagi untuk menyelematkannya. Misal, saat kamera saya kegulung ombak di Pantai Siung-Jogja, Alhamdulillah saya punya teman yang paham ttg kamera. Klo saya sendirian disana, mungkin saya hanya bisa nangis-nangis meratapi kamera yang berkarat.

 

Segitu dulu…

Setangkup Rindu dari Joga 2

Tragedi Membawa Berkah

Pagi di Siung Beach, para toekang poto berkejaran dengan jingga dan bulan yang masih muncul di langit

Pagi di Siung Beach, para toekang poto berkejaran dengan jingga dan bulan yang masih muncul di langit

Masih di Siung Beach pemirsa. Pagi hari di 29 Maret pukul 05.30. Harapan untuk melihat dan memotret sunrise masih ada dalam hati toekangpoto-wan dan toekangpoto-wati. Siung Beach memiliki karang yang besar-besar, ombaknya sebesar karangnya. Pagi ini air laut masih surut. Langit sedikit mendung, namun warna jingga dari matahari yang malu-malu muncul ikut hadir di langit pagi itu. Puluhan toekangpoto sudah siap dengan peralatan tempurnya masing-masing. Berpencar mereka di sekeliling pantai, sibuk mencari spot yang sesuai dengan imaji.

Siung Beach, landscape gagal paham

Siung Beach, landscape gagal paham

Temanya masih landscape. Memotret deburan ombak yang memecah karang masih menjadi tema favorite mereka. Namuun, berbekal kekecewaan saya karena selalu gagal motret landscape dengan teknik slow speed, membuat saya beralih kepada jati diri saya  sebenarnya: Human Interest (Alesaaaaan). Aktivitas yang paling mungkin untuk difoto adalah: Aktifitas Nelayan Pantai Siung. Perahu nelayan berjejer menghadap laut dengan ombaknya yang super besar. Nelayan bersiap-siap pergi melaut. Situasi ini menjadi indah untuk diabadikan. Sayangnya saya (lagi2) tidak melakukan riset mendalam tentang nelayan pantai Siung. Padahal kan lumayan untuk latihan bikin essai foto.

Ini kali pertama saya memotret kegiatan nelayan. Agak khawatir sebetulnya, mengingat air laut bukan sahabat yang baik untuk kamera. Apalagi saat itu air laut mulai pasang, dan ombak sedang besar-besarnya. Satu frame yang ingin saya dapatkan: memotret ekspresi nelayan saat mendorong perahu ke laut. Itu artinya, saya harus nyemplung ke air, dengan posisi low angle dan kita ga pernah tahu, sebesar apa ombak di belakang kita. Dan, tadda…ombak besar benar-benar datang, alhamdulillah tangan saya sontak naik ke atas mengamankan kamera, tak sadar air sudah sepinggang -___-.

Nelayan siap-siap melaut

Nelayan siap-siap melaut

Nelayan mendorong perahu mendekati pantai

Nelayan mendorong perahu mendekati pantai

Menunggu ombak agar siap diarungi

Menunggu ombak agar siap diarungi

Siap berlayar

Siap berlayar

Karena kondisi yang sudah tak memungkinkan, saya sudahi saja pencarian hari itu. Sesaat berbincang-bincang dengan teman-teman lainnya, saling foto, dan melakukan kegiatan mubah lainnya. Tiba-tiba dari kejauhan Mas Wahyudi lari membawa Canon 5D Mark 2 dalam keadaan basah kuyup. “Ada Korban”. Kaget, muka saya udah kaya di sinteron, yang dapet efek zoom in zoom out.

Kang Dudi, suhu foto kita yang ternyata mendapat musibah. Tersebor ombak saat memotret ombak. Beralasan, saat mata fokus memandang gambar melalui view finder, kita menjadi tidak awas pada kondisi sekitar. Setidaknya Canon 5D Mark 2, Nikon D7000, Fuji Film Mirrorless, memori, uang, hardisk eksternal, lensa termos, lensa 35 mm harus ikut mandi bersama air laut. Belum lagi Kang Dudi yang mengalami luka di lengan. Ga kebayang, se-epic apa kondisi saat itu.

Kang Dudi dan Kang Jali basah kuyup pasca tersiram ombak

Kang Dudi dan Kang Jali basah kuyup pasca tersiram ombak (Foto: Achmad Komaruddin)

Mas Wahyudi lari dari kejaran ombak (Foto: Muhammad Hilal)

Mas Wahyudi lari dari kejaran ombak (Foto: Muhammad Hilal)

Alhamdulillahnya, manusia yang hadir hari itu adalah orang-orang yang sudah berpengalaman di dunia fotografi. Pertolongan Pertama pada Kamera Kecemplung (Air Laut) pun dilakukan dengan sigap, begini caranya:

1. Lepas Batere dan memori

2. Tanpa melepas lensa, siram kamera dengan air tawar bersih. Pastikan air laut ternetralkan dengan baik. Air laut yang dibiarkan akan menyebabkan korosi.

3. Keringkan kamera dengan tisu

4. Lepas strap dan jemur

5. Dengan menggunakan blower, semprot sisi-sisi kamera yang memungkinkan air masuk ke dalam body. Hal ini bertujuan untuk mengeluarkan air.

5. Jemur atau angin-anginkan kamera anda

6. Bawa segera kamera ke tempat service terdekat. Inget, setelah melakukan tindakan di atas, jangan gunakan kamera untuk memotret, apalagi melempar.

Onggokan kamera basah

Onggokan kamera basah

Yang lain menggantung kamera

Yang lain menggantung kamera

Yah, setidaknya melalui musibah ini, kami mendapatkan satu pelajaran tentang P3K. Usai membantu membersihkan kamera dan ikut mengeringkan flashdisk, memori dan hardisk eksternal. Kami semua berinisiatif untuk berfoto bersama di bibir pantai.

Masing-masing TP-wan/wati meletakkan senjatanya

Masing-masing TP-wan/wati meletakkan senjatanya (Foto: Hasna Puri Handayani)

Berfoto bersama, detik-detik sebelum tragedi Siung (Foto: Ihsanudin Mahfud)

Berfoto bersama, detik-detik sebelum tragedi Siung (Foto: Ihsanudin Mahfud)

Spanduk Milad 2 digelar, kamera dijejerkan. Jamaah Nikoniah di sisi kiri, jamaah Canoniah di sisi kanan, sedangkan Olympus dan Sony Alpha di tengah-tengah.  Tak lupa, 3 kamera Kang  Dudi di depan spanduk. Kamera diarahkan, pantai sebagai backgroundnya. Jeprat jepret gabungan dilakukan dari gaya manusia sampai gaya absurd. Kemudian sesi foto-foto dilanjutkan oleh golongan akhwat. Baru beberapa kali gaya, tiba-tiba suara riuh berteriak “Ombaaaaaaak”. Tanpa menengok  ke belakang, tanpa tahu menyelamatkan kamera siapa, saya langsung mengambil kamera yang bisa diambil. Sambil lari ke depan, melihat akhwat lainnya yang chaos jatuh karena ingin menyelamatkan kamera siapapun. Yang terdengar dan terlihat hanya teriakan “Astaghfirullah, Allahu Akbar” dan muka Pak Imam yang shock. Air ternyata sudah menyentuh spanduk tempat kamera kami diletakkan. Ya, setidaknya 7 kamera tidak berhasil diangkat, ikut berenang bersama air laut. Termasuk Olympus E-510, kamera legendaris saya di dalamnya. Klo di buat headline berita mungkin begini bunyinya: “Puluhan Kamera Tergulung Ombak”. Sayang ga ada yang mengabadikan tragedi ini, klo masuk youtube mungkin On The Spot tertarik memasukkan video ini ke acaranya dengan judul “10 Kejadian yang sangat tidak dianjurkan” (Meletakkan kamera di bibir pantai. red)

Bagi saya ini sesi praktek secara langsung Pertolongan Pertama Pada Kamera Kecemplung (air laut).  Horor sebenernya lihat kamera sendiri dengan biadabnya disebor air tawar. Tapi apa daya :p. Alhamdulillah banyak yang membantu. Walaupun wajah shock bercampur sedih (hampa) terlihat jelas di wajah teman-teman (khususnya yang kameranya menjadi korban), namun senyum, tawa dan sedikit canda masih keluar dari mulut kami. “Ah, ini tanda-tanda dapet kamera baru..Insya Allah yang terbaik, namanya juga musibah :)” kurang lebih kalimat itu yang selalu keluar. Tak ada cela menyalahkan seseorang atau bahkan menyalahkan Allah yang menciptakan ombak. Semua diterima dengan hati lapang, dan hal yang paling penting adalah kami sadari ada pelajaran dan hikmah berharga dibalik kejadian ini.

Sempat kepikiran sih, apa Allah negur saya yang rada sombong ya…merasa tau mengatasi ombak, hingga lupa bahwa Allah bisa melakukan apapun. Insya Allah dibalik kesulitan pasti ada kemudahan. Saya yakin ukhuwah ini akan semakin erat. Setidaknya, untuk terus bertanya kabar “Gimana kabar kamera saya paaaak?” :p

Kang Dudi pasca kamera tenggelam: "Ga ada kamera, kompas pun jadi" :p

Kang Dudi pasca kamera tenggelam: “Ga ada kamera, kompas pun jadi” :p

Bersambuuuunggg…. Pantai Timang, Kota Gede, Merapi dan Kuliner 😀

Setangkup Rindu dari Jogja

Jogja pagi hari di Stasiun Lempuyangan

Jogja pagi hari di Stasiun Lempuyangan

29 – 31 Maret 2013 sudah lama berlalu, tapi kenangan dan rasa ukhuwahnya masih terasa. Tiga hari yang sangat berkesan bersama teman-teman tukang poto dari komunitas Toekang Poto. Komunitas yang terbentuk saat bencana Merapi terjadi 2010 silam

27 Maret 2013

Tak sabar menuju Jogja. Tepat pukul 20.25 KA Kahuripan melaju dari Kiara Condong menuju Stasiun Lempuyangan – Jogjakarta. Saya sengaja menggunakan kereta ekonomi, untuk melihat lebih banyak kisah di dalamnya. Yah, kata teman saya kereta ekonomi itu punya banyak cerita, dari mulai penumpang yang tidur di toilet, anak-anak tidur di rak penyimpanan tas, sampai ibu-ibu yang tidur di kolong-kolong kursi, semua berbaur dengan riuh pedagang dan bau keringat yang mempesona *uhuk*. Tapi, imajinasi saya tentangnya hilang saat menyadari bahwa kereta yang saya tumpangi menggunakan AC. Hah, ternyata KAI mengeluarkan kebijakan baru, menghilangkan kereta ekonomi biasa dan menggantinya dengan kelas ekonomi AC. Satu sisi saya merasa beruntung karena hanya membayar Rp 38.000 saja untuk menikmati ekonomi AC, sedangkan harga ekonomi AC sendiri tembus diangka Rp 120.000. Di sisi lain, sedihnya, kamera tidak saya keluarkan sama sekali. Perjalanan  jadi membosankan. Satu-satunya peristiwa menarik bagi saya adalah: terjebak dalam awkward moment, 2 manusia jomblo berhadapan dengan 1 pasang pengantin baru yang romantisnya ga ketulungan *berasa pengen nabur kemenyan*.

28 Maret 2013

Kereta menghentikan laju tepat pada pukul 06.00. Jogja masih teduh, dengan sinar matahari kuning keemasan. Suara mbah-mbah dengan logat medok jawanya bersahutan menawarkan “Nasi Ayam”. Indah.

Karena acara Milad 2 Toekang Poto baru berlangsung di tanggal 29 Maret, so hari ini jadwal saya masih sangat-sangat fleksibel. Bantul menjadi daerah tujuan kami (saya, flo dan tuti). Bukan karena pariwisatanya, tapi karena disana ada saudara sepupu saya. Artinya, saya bisa menghemat biaya makan, biaya penginapan dan biaya transportasi *hahahah*.

Dan jackpot, ternyata  rumah saudara saya -PringGading- bersebalahan dengan desa wisata Krebet. Krebet terkenal dengan pengrajin batik kayunya. Keliling-keliling sebentar, berasa turis mancanegara sambil menenteng DSLR :p. Kami menemukan bale-bale tempat para pengrajin yang sibuk membatik kayu. Mereka ramah,tanpa basa basi saya menwarkan diri untuk mencoba membatik juga. Hufft, ternyata memegang canting berisi lelehan malam panas tidaklah mudah kawan, tangan saya gemetar grogi.

Seorang pengrajin batik kayu sedang melakukan kegiatan"nyanting".

Seorang pengrajin batik kayu sedang melakukan kegiatan”nyanting”.

Batik kayu khas Desa Krebet - Bantul

Batik kayu khas Desa Krebet – Bantul

Saya belajar nyanting di atas kayu

Saya belajar nyanting di atas kayu (Foto by: Tuti)

:D (Foto by:Tuti)

😀 (Foto by:Tuti)

29 Maret 2013

Hari yang dinantikan saudara-saudara. Saya tak sabar bertemu dengan masterwan dan masterwati fotografi yang berdatangan dari penjuru negeri. Ada yang dari Jogja, Bandung, Bogor, Jakarta, Magetan, bahkan Balikpapan. Tentu saja lengkap dengan “senjata”nya masing-masing. Mereka ini orang-orang sholeh yang memotret atas dasar cinta pada Tuhannya (hehehe, sok terjemahin sendiri maksudnya gimana :p).

Pertemuan kali ini sejenis Kopdar bagi saya, iya dong.. selama ini kita hanya saling sapa dan saling bantai lewat Facebook saja. Bahkan saya lebih kenal nama akunnya dibandingkan nama aslinya. Saya pun memastikan bahwa akun-akun itu adalah benar manusia, bukan alien dari planet Mars. Meski baru bertemu di dunia nyata, hangatnya ukhuwah langsung menyelimuti. Tak ada kata-kata romantis, hanya saling hina dan saling cela saja…ahahha, tapi itu sangat efektif. (Begitu Kijang Genit? :p)

Bringharjo

Setelah puas memandang ngeri pada “senjata” yang dibawa tukang poto ini. Sekarang kengerian berlanjut ke medan perang sesungguhnya. Briefing sebentar saja, tak ada pengarahan lebih, kecuali “Yak, kita makan dulu di lantai 1, terus terserah keliling-keliling pasar. Tema kita hari ini adalah Human Interest”. Kesan saya pada pasar ini: Ini Indonesia dengan segala keramahannya, kerja kerasnya, dan kesederhanaannya. Bringharjo ini unik loh, selain pasarnya rapi, kita akan mendapati begitu banyak mbah-mbah berusia lanjut memadati sisi-sisi pasar  dengan wajahnya yang eksotis. Ada yang menjadi pedagang, ada juga yang menjadi kuli panggul. Kata Mas Gendut, pemilik kedai kopi di Bringharjo, mbah-mbah ini bisa jadi berusia 100 tahun. Hebat kan?

Sayangnya, saya tak sempat melakukan riset terhadap pasar ini. Hingganya, saya juga bingung akan mengangkat apa tentang pasar ini. Yang terlintas hanya 1 tema: Lelap dalam kesibukan. Pencahayaan di Pasar Bringharjo agak terbatas, so ISO dikatrol setinggi-tingginya 3200 sampai 6400. Alhamdulillah, Nikon D7000 tidak bermasalah dalam hal ini, tak ada noise yang berarti *iklaaaaan*. Kata Mang Udin (Presiden Toekang Poto), dalam memotret HI kita bisa melakukannya dengan dua pendekatan. 1. Jepret and Run (candid dengan kamera tele) ; 2. Ngobrol-ngobrol terlebih dahulu dengan objek, minta izin untuk difoto. Tapiii amannya adalah Jepret dulu baru minta izin, hal ini mengantisipasi jika sang objek tidak berkenan untuk difoto maka kita sudah punya fotonya. Inget prinsipnya: puncak moment tidak datang dua kali..hehe.

Suasana pasar Bringharjo yang sibuk sejak pukul 2 dini hari

Suasana pasar Bringharjo yang sibuk sejak pukul 2 dini hari

Mbah-mbah melintasi dagangan

Mbah-mbah melintasi dagangan

Seorang pedagang kelapa, senang saat dagangannya dibeli

Seorang pedagang kelapa, senang saat dagangannya dibeli

Seorang pedagang terlelap di tengah dagangannya

Seorang pedagang terlelap di tengah dagangannya

Lelap dengan damainya

Lelap dengan damainya

Pijat-pijat

Pijat-pijat

Pantai Wedi Ombo

Wedi = takut ; Ombo = Besar. Jadi Wedi Ombo adalah ketakutan yang besar, itulah ajaran sesat pak Imam, komandan tim Kijang Genit. Wedi Ombo terletak di Gunung Kidul, kurang lebih ditempuh dalam waktu 3 jam dari Jogjakarta. Rintik hujan menemani perjalanan kami. Rencananya, kami akan mengabadikan sunset disana, namun apalah daya awan mendung masih betah berlama-lama menutupi matahari yang nyemplung perlahan di lautan.

Lensa wide hasil pinjaman ke Kang Dudi menemani hari-hari saya. Tema hari ini adalah: Landscape. Tema yang paling saya takuti *ga bisaaaa*. Sub tema: Slow Speed. Kang Dudi master Landscape memberikan sedikit pengarahan “Setting kamera: Speed rendah, F 22, ISO sesuaikan, jangan lupa pakai tripod”.

Pemotretan di Wedi Ombo sungguh merepotkan. Tangan kanan memegang payung untuk mengamankan kamera dari rintik hujan, tangan kiri memegang kamera lengkap dengan tripodnya. Alhamdulillah pantai sedang surut, sehingga barisan karang dapat terlihat dengan jelas saat itu. Suasana Wedi Ombo begitu dramatis, mendung, karang dan ombak besar ditemani sedikit rintik hujan.

Kang Jali membantu TP-Wati memasang isolasi

Kang Jali membantu TP-Wati memasang isolasi

Tips memotret di pantai: tutuplah dudukan flash (apasih namanya) dengan isolasi kertas untuk menghindari korosi oleh sebab cipratan air pantai.

Pengarahan dari Master Dudi tentang foto Landscape

Pengarahan dari Master Dudi tentang foto Landscape

Fotografer melintasi karang untuk memotret ombak

Fotografer melintasi karang untuk memotret ombak

Cuma ini yang bisa saya jepret:p

Cuma ini yang bisa saya jepret :p – Wedi Ombo Beach

Pantai Siung

Kami sampai di Pantai Siung pada malam hari, disambut dengan hamparan pantai yang luas dengan karang besar di kanan kirinya. Rencanya, esok hari kami akan mengabadikan sunrise di tempat ini.

Suasana malam, lengkap dengan suara deburan ombak, bunyi serangga, dan kunang-kunang hilir mudik menemani forum diskusi kami saat itu. Juga menjadi saksi penunjukkan brutal atas Mang Udin sebagai Presiden Toekang Poto sejagad Indonesia. Banyak harap dari kami terhadap komunitas yang sedang berbenah diri dari gerombolan menjadi barisan yang rapi untuk bermanfaat bagi ummat melalui fotografi. Fotografi untuk Peradaban !!! :p

Bersambung…..