Selamat datang dan jalan di Pulau Pari (Foto. Mas-mas Pulau Pari)
Saudara, sesungguhnya perjalanan yang berkesan bisa muncul karena 3 hal: perjalanannya indah, perjalanannya konyol dan bodoh, perjalanannya hancur dan carut marut. Dan, inilah saya anak pantai yang lebih senang sama suasana pegunungan dan sungai ketimbang suasana pantai. Menjebakkan diri bersama anak-anak (yang saya claim) komunitas Toekang Poto untuk menikmati perjalanan ke Pulau Pari, Kepulauan Seribu.
Pagi-pagi buta sudah duduk manis di atas angkot menuju Muara Angke, naik perahu kayu besar. Saya sempat khawatir mempermalukan diri sendiri oleh sebab mabok laut. Wajar saja, seingat saya, terakhir kali naik kapal laut adalah waktu SD. Naik di lantai 2 perahu kayu, dan dengan suksesnya terbakar oleh sinar matahari yang terik. Perjalanan laut dari Muara Angke menuju Pulau Pari ditempuh selama 2 jam.
Kepanggang di tengah laut kaya Pi dalam film Life of Pi atau ikan asin?
Apa rencana saya di Pulau Pari?
Selain pengen banget ngerasain snorkeling (padahal ga jago amat renang), ceritanya saya ingin menantang diri untuk menjelma menjadi seorang Landscaper. Ini adalah ambisi yang muncul, setelah foto landscape saya di Pantai Siung, dengan suksesnya dicela oleh anak-anak Toekang Poto. “Ini foto pake kamera hape ya?”, begitulah mereka berkata semena-mena :p. Ya gitu deh, saya ga pernah dapet mood untuk motret Landscape.
Jadilah, karena begitu niatnya menjelma menjadi seorang Landscaper, maka saya siapkan segala alat fotografi yang menunjang kegiatan saya di Pulau Pari. Yah kebayang lah, motret pantai itu klo ga motret senja dan sunrise di pantai ya motret ombak dan awan. Beberapa suhu Landscape Toekang Poto, menaruh harapan lebih pada saya. Ada yang bilang “Udah ganti hobi aja kalo ga dapet foto bagus”. Ah, beban mental.
Ok, karena (lagi2) saya akan memotret di PANTAI, dan tragedi Siung cukup memberikan banyak pelajaran, maka saya akan lebih mempersiapkan segala sesuatunya, agar tragedi itu ga perlu terulang lagi (udah tinggal kamera satu-satunya). So, berikut adalah barang yang saya bawa:
1. Tripod, karena untuk memotret ombak yang halus seperti kapas, kita akan menggunakan teknik slow speed. So, tripod sangat membantu untuk mengurangi efek goyang.
2. Lensa dengan sudut lebar. Yah, sebagai penganut fix lens 50 mm. Akhirnya saya minjem juga lensa 18 – 55 mm ke teman. Kenapa ga wide? ribet bawanya, kegedean. Sudut 18 mm juga cukup lebar kok.
3. Blower, pembersih lensa. Untuk membersihkan lensa dari kemungkinan terciprat air laut yang kejam itu
4. Dry Bag. Walaupun dia ngeberatin tas, tapi sungguh sangat bermanfaat untuk melindungi barang elektronik, khususnya kamera kita dari kemungkinan tercemplung ke air (dan sekali lagi ini air laut brooo, Olympus saya aja udah berbulan-bulan ketahan di ICU gara-gara nyemplung ke air laut).
5. Kain kering berukuran cukup besar. Kain ini efektif untuk menghindari kontak langsung antara tangan yang masih basah kena air laut dengan body kamera.
6. Dan ingat, buatlah bawaan kita sepraktis mungkin. 1 tas gendong dan maksimalnya 1 tas selempang untuk membawa kamera.
Di Pulau Pari
Saya ke Pulau Pari menggunakan jasa travel. Cukup membayar Rp. 290.000 (untuk rombongan di atas 10 orang), kita sudah mendapatkan fasilitas: perahu pulang pergi, guest house nyaman dengan kipas angin, tv dan kasur, sepeda untuk jalan-jalan di Pulau Pari, snorkeling, makan 3x, kamera underwater, tour guide, barbeque dan perahu untuk snorkeling.
Detik-detik menjelang Snorkeling (Foto. Suci Putri Asmara)
Sampai di Pulau Pari pukul 11.00, disambut dengan teriknya matahari, bau laut, orang-orang salah kostum yang memadati pantai, wisatawan yang ga ngerti gimana cara jaga lingkungan, dan es kelapa muda. Sampai di guest house, makan siang sejenak dan dilanjutkan agenda: Snorkeling. Selain takut ketinggian, saya juga takut air laut (itu kenapa saya males mandi :p). Tapi khusus untuk menjajal snorkeling saya berani-beraniin diri. Plung, akhirnya saya nyemplung juga ke laut. Sempet kagok juga pake pelampung, karena dia justru bikin gerakan saya ga teratur, alih-alih gaya batu, saya justru dipaksa untuk pake gaya nyungsep. Sempet bikin glagapan dan dengan suksesnya menenggak beberapa teguk sop air laut yang keasinan. Huah, untung saya pernah belajar sedikit tentang kekuatan men-sugesti diri. Jadilah, dalam tempo sesingkat-singkatnya, saya mampu menenangkan diri dan mengendalikan posisi tubuh agar normal.
Akhirnya, nyemplung juga (Foto. Juli)
Ini kali pertama saya memandang, dan menyaksikkan lukisan Allah di dasar lautan. Indaaaaah banget, berkali-kali saya hanya bilang Subhanallah, sambil berteriak-teriak “Arrrggghhhhhh, nyesel ga jadi minjem kamera underwater punya temeeeennnn”. Ya gitu deh, ternyata kami ga kebagian kamera underwater (maklum, padat wisatawan). Yaaah, pokoknya sebel sih. Tapi hikmahnya adalah, saya disuruh balik lagi ke Pulau Pari tampaknya.
Selanjutnya, kami pergi ke Pulau Tikus. Saya juga ga ngerti kenapa dia disebut Pulau Tikus. Saya memisahkan diri dari rombongan, mulai bertapa untuk memotret deburan ombak *ceritanya*. Sempet ngeri juga, megang kamera dalam kondisi tubuh basah kuyup oleh air laut. Setelah cuci tangan pake air tawar barulah saya berani untuk pegang kamera. Meletakkan kamera di atas Tripod dan mencari spot yang bagus. Sampai disini, saya makin sebel. Kenapa? karena ga ada ombaaaaakkkk, dan langitnya datar. Saya coba foto ombak kecil yang menyapu ranting, dan hasilnya: Over Exposure parah. Semua ini disebabkan oleh saya ga bawa filter GND ataupun CPL, daaan ngerinya, lensa teman saya ga dipasangin filter UV juga T_T.
Setelah gagal dengan suksesnya untuk memotret deburan ombak. Hari itu saya masih punya harapan untuk mengejar Sunset. Memacu sepeda dengan sekuat tenaga, dan sesampainya di Bukit Matahari, saya mendapati langit yang mendung tanpa sunset. *Pingsan*
Senja yang tersisa di Pulau Pari
Malam harinya, kami serombongan ceritanya akan menerbangkan beberapa lampion yang sengaja kami bawa dari Jakarta, dan sengaja juga kami pesan langsung dari Semarang. Tapi, selain Pulau Pari mendadak mati lampu, ternyata, hujan pun turun dengan derasnya. Rencana Barbeque dan Menerbangkan lampion gagal dengan suksesnya. Yang sukses hari itu hanyalah: Sukses tiduuuur dengan lelapnya.
Pagi hari, saatnya mengejar Sunrise. Bangun pagi-pagi, melihat ke luar jendela, dan ternyata: Mendung. Sunrise-pun tak datang hari ini. Aaaarrgghhh. Memacu sepeda ke Pantai Perawan. Berniat memotret ombak, daaan, tak ada ombak. Lautnya dangkal, dan tenang.
Namun, ditengah kegagalan memotret landscape. Mood saya kembali terbangun saat melihat anak-anak Pulau Pari yang dengan senangnya menjadi pendayung perahu di Pantai Perawan. Lagi-lagi, memotret orang justru lebih menyenangkan daripada memotret Landscape *alesan*. Ceritanya bisa dilihat disini.
2 hari yang berkesan karena kekonyolannya. Senang bertemu teman-teman baru yang bahkan dihari pertama perjumpaannya sudah berbincang serius tentang Upil dan Kentut. Salam cinta dan damai, esok atau lusa kita kembali lagi :p. *Remediaaaalll*
Tadda..dadah2 Pulau Pari, kita ketemu lagi (Foto. Suci Putri Asmara)