Setangkup Rindu dari Jogja

Jogja pagi hari di Stasiun Lempuyangan

Jogja pagi hari di Stasiun Lempuyangan

29 – 31 Maret 2013 sudah lama berlalu, tapi kenangan dan rasa ukhuwahnya masih terasa. Tiga hari yang sangat berkesan bersama teman-teman tukang poto dari komunitas Toekang Poto. Komunitas yang terbentuk saat bencana Merapi terjadi 2010 silam

27 Maret 2013

Tak sabar menuju Jogja. Tepat pukul 20.25 KA Kahuripan melaju dari Kiara Condong menuju Stasiun Lempuyangan – Jogjakarta. Saya sengaja menggunakan kereta ekonomi, untuk melihat lebih banyak kisah di dalamnya. Yah, kata teman saya kereta ekonomi itu punya banyak cerita, dari mulai penumpang yang tidur di toilet, anak-anak tidur di rak penyimpanan tas, sampai ibu-ibu yang tidur di kolong-kolong kursi, semua berbaur dengan riuh pedagang dan bau keringat yang mempesona *uhuk*. Tapi, imajinasi saya tentangnya hilang saat menyadari bahwa kereta yang saya tumpangi menggunakan AC. Hah, ternyata KAI mengeluarkan kebijakan baru, menghilangkan kereta ekonomi biasa dan menggantinya dengan kelas ekonomi AC. Satu sisi saya merasa beruntung karena hanya membayar Rp 38.000 saja untuk menikmati ekonomi AC, sedangkan harga ekonomi AC sendiri tembus diangka Rp 120.000. Di sisi lain, sedihnya, kamera tidak saya keluarkan sama sekali. Perjalanan  jadi membosankan. Satu-satunya peristiwa menarik bagi saya adalah: terjebak dalam awkward moment, 2 manusia jomblo berhadapan dengan 1 pasang pengantin baru yang romantisnya ga ketulungan *berasa pengen nabur kemenyan*.

28 Maret 2013

Kereta menghentikan laju tepat pada pukul 06.00. Jogja masih teduh, dengan sinar matahari kuning keemasan. Suara mbah-mbah dengan logat medok jawanya bersahutan menawarkan “Nasi Ayam”. Indah.

Karena acara Milad 2 Toekang Poto baru berlangsung di tanggal 29 Maret, so hari ini jadwal saya masih sangat-sangat fleksibel. Bantul menjadi daerah tujuan kami (saya, flo dan tuti). Bukan karena pariwisatanya, tapi karena disana ada saudara sepupu saya. Artinya, saya bisa menghemat biaya makan, biaya penginapan dan biaya transportasi *hahahah*.

Dan jackpot, ternyata  rumah saudara saya -PringGading- bersebalahan dengan desa wisata Krebet. Krebet terkenal dengan pengrajin batik kayunya. Keliling-keliling sebentar, berasa turis mancanegara sambil menenteng DSLR :p. Kami menemukan bale-bale tempat para pengrajin yang sibuk membatik kayu. Mereka ramah,tanpa basa basi saya menwarkan diri untuk mencoba membatik juga. Hufft, ternyata memegang canting berisi lelehan malam panas tidaklah mudah kawan, tangan saya gemetar grogi.

Seorang pengrajin batik kayu sedang melakukan kegiatan"nyanting".

Seorang pengrajin batik kayu sedang melakukan kegiatan”nyanting”.

Batik kayu khas Desa Krebet - Bantul

Batik kayu khas Desa Krebet – Bantul

Saya belajar nyanting di atas kayu

Saya belajar nyanting di atas kayu (Foto by: Tuti)

:D (Foto by:Tuti)

😀 (Foto by:Tuti)

29 Maret 2013

Hari yang dinantikan saudara-saudara. Saya tak sabar bertemu dengan masterwan dan masterwati fotografi yang berdatangan dari penjuru negeri. Ada yang dari Jogja, Bandung, Bogor, Jakarta, Magetan, bahkan Balikpapan. Tentu saja lengkap dengan “senjata”nya masing-masing. Mereka ini orang-orang sholeh yang memotret atas dasar cinta pada Tuhannya (hehehe, sok terjemahin sendiri maksudnya gimana :p).

Pertemuan kali ini sejenis Kopdar bagi saya, iya dong.. selama ini kita hanya saling sapa dan saling bantai lewat Facebook saja. Bahkan saya lebih kenal nama akunnya dibandingkan nama aslinya. Saya pun memastikan bahwa akun-akun itu adalah benar manusia, bukan alien dari planet Mars. Meski baru bertemu di dunia nyata, hangatnya ukhuwah langsung menyelimuti. Tak ada kata-kata romantis, hanya saling hina dan saling cela saja…ahahha, tapi itu sangat efektif. (Begitu Kijang Genit? :p)

Bringharjo

Setelah puas memandang ngeri pada “senjata” yang dibawa tukang poto ini. Sekarang kengerian berlanjut ke medan perang sesungguhnya. Briefing sebentar saja, tak ada pengarahan lebih, kecuali “Yak, kita makan dulu di lantai 1, terus terserah keliling-keliling pasar. Tema kita hari ini adalah Human Interest”. Kesan saya pada pasar ini: Ini Indonesia dengan segala keramahannya, kerja kerasnya, dan kesederhanaannya. Bringharjo ini unik loh, selain pasarnya rapi, kita akan mendapati begitu banyak mbah-mbah berusia lanjut memadati sisi-sisi pasar  dengan wajahnya yang eksotis. Ada yang menjadi pedagang, ada juga yang menjadi kuli panggul. Kata Mas Gendut, pemilik kedai kopi di Bringharjo, mbah-mbah ini bisa jadi berusia 100 tahun. Hebat kan?

Sayangnya, saya tak sempat melakukan riset terhadap pasar ini. Hingganya, saya juga bingung akan mengangkat apa tentang pasar ini. Yang terlintas hanya 1 tema: Lelap dalam kesibukan. Pencahayaan di Pasar Bringharjo agak terbatas, so ISO dikatrol setinggi-tingginya 3200 sampai 6400. Alhamdulillah, Nikon D7000 tidak bermasalah dalam hal ini, tak ada noise yang berarti *iklaaaaan*. Kata Mang Udin (Presiden Toekang Poto), dalam memotret HI kita bisa melakukannya dengan dua pendekatan. 1. Jepret and Run (candid dengan kamera tele) ; 2. Ngobrol-ngobrol terlebih dahulu dengan objek, minta izin untuk difoto. Tapiii amannya adalah Jepret dulu baru minta izin, hal ini mengantisipasi jika sang objek tidak berkenan untuk difoto maka kita sudah punya fotonya. Inget prinsipnya: puncak moment tidak datang dua kali..hehe.

Suasana pasar Bringharjo yang sibuk sejak pukul 2 dini hari

Suasana pasar Bringharjo yang sibuk sejak pukul 2 dini hari

Mbah-mbah melintasi dagangan

Mbah-mbah melintasi dagangan

Seorang pedagang kelapa, senang saat dagangannya dibeli

Seorang pedagang kelapa, senang saat dagangannya dibeli

Seorang pedagang terlelap di tengah dagangannya

Seorang pedagang terlelap di tengah dagangannya

Lelap dengan damainya

Lelap dengan damainya

Pijat-pijat

Pijat-pijat

Pantai Wedi Ombo

Wedi = takut ; Ombo = Besar. Jadi Wedi Ombo adalah ketakutan yang besar, itulah ajaran sesat pak Imam, komandan tim Kijang Genit. Wedi Ombo terletak di Gunung Kidul, kurang lebih ditempuh dalam waktu 3 jam dari Jogjakarta. Rintik hujan menemani perjalanan kami. Rencananya, kami akan mengabadikan sunset disana, namun apalah daya awan mendung masih betah berlama-lama menutupi matahari yang nyemplung perlahan di lautan.

Lensa wide hasil pinjaman ke Kang Dudi menemani hari-hari saya. Tema hari ini adalah: Landscape. Tema yang paling saya takuti *ga bisaaaa*. Sub tema: Slow Speed. Kang Dudi master Landscape memberikan sedikit pengarahan “Setting kamera: Speed rendah, F 22, ISO sesuaikan, jangan lupa pakai tripod”.

Pemotretan di Wedi Ombo sungguh merepotkan. Tangan kanan memegang payung untuk mengamankan kamera dari rintik hujan, tangan kiri memegang kamera lengkap dengan tripodnya. Alhamdulillah pantai sedang surut, sehingga barisan karang dapat terlihat dengan jelas saat itu. Suasana Wedi Ombo begitu dramatis, mendung, karang dan ombak besar ditemani sedikit rintik hujan.

Kang Jali membantu TP-Wati memasang isolasi

Kang Jali membantu TP-Wati memasang isolasi

Tips memotret di pantai: tutuplah dudukan flash (apasih namanya) dengan isolasi kertas untuk menghindari korosi oleh sebab cipratan air pantai.

Pengarahan dari Master Dudi tentang foto Landscape

Pengarahan dari Master Dudi tentang foto Landscape

Fotografer melintasi karang untuk memotret ombak

Fotografer melintasi karang untuk memotret ombak

Cuma ini yang bisa saya jepret:p

Cuma ini yang bisa saya jepret :p – Wedi Ombo Beach

Pantai Siung

Kami sampai di Pantai Siung pada malam hari, disambut dengan hamparan pantai yang luas dengan karang besar di kanan kirinya. Rencanya, esok hari kami akan mengabadikan sunrise di tempat ini.

Suasana malam, lengkap dengan suara deburan ombak, bunyi serangga, dan kunang-kunang hilir mudik menemani forum diskusi kami saat itu. Juga menjadi saksi penunjukkan brutal atas Mang Udin sebagai Presiden Toekang Poto sejagad Indonesia. Banyak harap dari kami terhadap komunitas yang sedang berbenah diri dari gerombolan menjadi barisan yang rapi untuk bermanfaat bagi ummat melalui fotografi. Fotografi untuk Peradaban !!! :p

Bersambung…..