Belajar tentang Arti Belajar di dalam Rimba

Saya lupa tepatnya kapan mendengar nama Butet Manurung, yang pasti jauh sebelum Indonesia Mengajar nge-hits sekarang ini. Perjuangan Butet Manurung mengajar anak-anak Rimba membuat saya takjub dan kagum. Jalan yang ia tempuh, membuat saya bermimpi untuk [juga] berbagi kebahagiaan kepada anak-anak di pelosok Indonesia.

Bandung, 5 Desember 2013 – 20.30

Dengan Flo saya berencana untuk nonton film 99 Cahaya di Langit Eropa. Hah, alih-alih nonton film itu kami malah tertarik untuk menonton Sokola Rimba. Sebuah film garapan Mira Lesmana dan Riri Riza yang bercerita tentang perjuangan Butet Manurung mengajar anak-anak Rimba.

Walau larut malam, dan penontonnya (akhirnya) hanya 8 orang, tapi Sokola Rimba adalah klimaks dari perjalanan saya hari itu. Obat untuk jiwa yang rindu kembali bercengkrama dengan anak-anak kecil, dengan tatapnya yang penuh mimpi.

Dari awal hingga akhir film ini diputar, hati saya dipenuhi dengan perasaan yang sesak. “Ya, kapan saya akan kembali menjejaki jalan itu (lagi)?”

“Rimba, aku kan datang berbekal cinta yang hanya bisa kau rasakan” sayup sayup OST Sokola Rimba mengalun di akhir film.

Ya, berbekal cinta..saya akan kembali menapaki jalan itu kembali 🙂 Bismillah


Dan, ironis, disebelah studio 6 ini…film murahan berjudul Taman Lawang sedang diputar dengan penonton yang lebih ramai. What the hell

Bundle Of Joy – Mocca

When you’re not around, I just think of you
I feel you close to my heart, It’s like we’re never apart

Then EAR to EAR, my lips START TO STRETCH
I feel happy again, giggling again
I thank you for all, you’re the bundle of joy for me

And when I feel down, and thing’s just stuck in my mind
I remember the things that you said, and those bad jokes that you made

You’re my bundle of joy…
That a smile starts to show, i feel ALL IT GLOW
When you just make me happy
You’re my bundle of joy, and thank you for all my love

Lagi Bosen Motret

Pernah bosen motret? kalo saya “Sedang Bosan Motret”

Boleh dong ya sekali-kali – eh sering ding-. Udah beberapa bulan belakangan saya pisah ranjang sama si Niko (kamera Nikon D7000 saya yang ga beres-beres cicilannya. Kamera yang saya ganti strapnya menjadi strap Olympus, hingganya ia kini bertipe: Konimpus. Peranakan Nikon Olympus).

Oleh sebab apa saya bosan?

1. Foto wedding. Motret orang nikahan yang gitu-gitu aja, ngedit foto nikahan yang gitu-gitu aja kadang-kadang bikin stress sendiri. Hmmm, sejenis ga punya mood menghasilkan foto yang greget alias foto yang penuh emosi. Saya memang bukan tipikal fotografer yang mendewakan teknik tingkat tinggi, angle tingkat juragan, dan lighting tingkat tengkulak. Saya lebih senang larut dalam emosi pada peristiwa itu, dan menyampaikannya kembali lewat gambar 2 dimensi. Saya rindu foto-foto dengan tetesan air mata, ekspresi bahagia dan malu-malu para pengantin, ekspresi grogi, harap-harap cemas para orang tua, senyum lepas, dan lain-lain.

2. Foto makanan. Buku food photography yang saya beli beberapa saat lalu, mengingatkan pada tumpukan tantangan yang belum juga saya sentuh. Kapan saya tergerak untuk masaaaaak? >_< dan motret dengan khusyunya dipinggir jendela bercahaya banyak. Sebenernya bosen juga motret makanan yang saya beli di cafe. Harganya bikin dompet kerontang.

3. Ritme hidup yang gitu-gitu aja. Ya gitu-gitu aja, terjebak dalam rutinitas. Yang namanya rutinitas, ya peristiwanya itu-itu aja. Sesekali tampaknya butuh menyengajakan diri jalan-jalan ke suatu tempat yang mengikat saya pada sebuah emosi. Ada yang mau ngajak saya jalan-jalan? ga harus ke tempat indah kok.

Daaaan, itu juga yang membuat saya malas menulis di blog. Udahan ah cutinya *pukul2 muka pake kamera* hahaha.

 

Pour Over-V60 Competition, “Menerka-nerka kopi”

“Ada kompetisi nyeduh kopi pake Pour Over V-60 loh”

Kurang lebih begitulah info yang sampai di telinga kami (baca: punggawa komunitas Ngaleueut Cai Kopi). Menarik untuk diikuti. So, isenglah kami mendaftarkan diri kepada panitia (baca: BCB a.k.a Barista Community Bandung). Kompetisi ini merupakan yang pertama yang diadakan oleh BCB. Ga cucok juga sih dibilang kompetisi yang kesannya serieus itu, da ini mah rame-ramean aja, santai lah..bebas.

Selasa 5 November 2013 berlokasi di Kavee Coffee (Jalan Sultan Tirtayasa 16, Bandung). Itulah Saya, Kang Aat, dan Kang Sandro ikut serta dalam kompetisi ini.  Sambil grogi-grogi ga jelas kami menatap satu-satu peserta kompetisi yang ternyata berprofesi sebagai Barista. Dari 8 peserta kompetisi, 5 diantaranya adalah Barista, sedangkan 3 lainnya adalah kami. Iya kami yang lucu-lucu ini 😀 *mual*.  Dan tahukah? Kang Acek, salah satu suhu kami di dunia perkopian ikut-ikutan jadi peserta, bah konspirasi macam apa ini. Masa murid ngelawan guru seperguruan :p.

Pour Over-V60 Street-Battle Dimulai

Battle terdiri dari 3 babak: Penyisihan 1, Penyisihan 2, dan Final. Di setiap babaknya, akan disuguhkan 1 jenis biji kopi Arabika dari daerah tertentu, dengan tingkat roasting tertentu. Pada babak Penyisihan 1, peserta ditantang untuk menyeduh biji kopi Bali Kintamani – Medium Roast, tentu saja dengan menggunakan metode seduh Pour Over dengan alat Hario V60. Peserta dibebaskan untuk menentukan komposisi kopi dan air, grind size, dan suhu airnya sendiri.

Dan inilah saya melawan (ga enak sih pake bahasa melawan, da ini mah kompetisi seru-seruan :p. Tapi saya bingung cari padanan kata lain) Kang Aat. Halagh, perasaan gue ga enak, secara beliau lebih senior dalam dunia perseduhan. But, show must go on, nikmati aja lah ya. 

tOekangpotokopi lagi jadi tOekangkopi heula | Foto. Mplo

tOekangpotokopi lagi jadi tOekangkopi heula | Foto. Mplo

Menatap hampa pada onggokan biji kopi Bali Kintamani – Medium Roast. Bali Kintamani setahu saya karakternya asam. Saya mulai mikir, gimana caranya mendapatkan asam dan pahit yang seimbang dari biji kopi ini. Menerka-nerka grind sizenya, menerka-nerka takaran kopi dan airnya, menerka-nerka suhu airnya. Huah ternyata serumit ini untuk menyeduh kopi.

Saat itu saya menggiling biji kopi pada ukuran 16 (halus semi kasar), konon kabarnya semakin halus gilingan rasa yang dihasilkan semakin pahit. Ga cuma itu, jenis panggangan juga berpengaruh dalam mengambil keputusan grind size. Makin gelap panggangannya (dark roast) makin kopong bijinya, so kalo digiling terlalu kasar maka konsistensi bubuk kopi tidak akan padat, artinya kopi tidak akan terekstraksi sempurna (ih ngomong apa sih gue, sotoy amat). Terus, air untuk menyeduh saya setting pada suhu 85 derajat celcius. Semakin panas suhu semakin pahit kopi, semakin dingin semakin asam (ya kali). 

Kopi siap dicicipi oleh juri | Foto. Mplo

Kopi siap dicicipi oleh juri | Foto. Mplo

Setelah selesai menggiling, kemudian kopi diseduh dengan teknik yang sudah pernah saya bahas disini. Grogi cuuuuy, diliatin barista-barista handal se-Bandung raya. Ah, apalah saya ini. Ritual menyeduh selesai. Sedikit kecewa, karena air yang menetes dari V-60 terlalu cepat (udah kebayang rasanya bakal cowerang, you know cowerang?. Selain itu, ditengah-tengah proses menyeduh, timbangan yang saya gunakan mati, jadilah saya mengira-ngira takaran airnya T_T. Ah Sudahlah. Kopi hasil seduhan saya tuang ke dalam 3 cangkir, nantinya akan dicicipi oleh 3 juri. Sisanya? saya minum sendiri, yak hasilnya ga jauh beda dari prediksi saya. Cowerang dan hanya rasa asamnya yang keluar. Menyedihkan. Walaupun kurang beruntung di babak pertama, tapi saya senang pernah ikut kompetisi ini.

Sejenis perasaan gemfeur | Foto. Hesty

Sejenis perasaan gemfeur. Menyaksikkan Teh Irma (barista Meeting Point) meracik kopinya | Foto. Hesty

Saya belajar banyak hal. Seru juga mengalami sensasi deg-degan saat disodori sekaleng biji kopi, kemudian kang Roni (pemandu kompetisi sekaligus Barista LaCamera) hanya menyebutkan jenis biji kopinya saja. Kita? menerka2 sendiri jenis panggangannya, menerka-nerka karakternya, menerka-nerka hasil seduhan yang diharapkan, dan menerka-nerka bagaimana caranya mendapatkan hasil seduhan yang sesuai dengan selera sang juri.  Otak, mata, hidung, lidah, tangan, digunakan secara maksimal untuk mendapatkan seduhan yang maksimal. Ah, senangnya melihat para peserta melakukan hal itu semua :D. Oh iya, barista-barista yang hadir – baik yang menjadi peserta ataupun penonton- tidak sungkan untuk berbagi ilmunya mengenai perkopian.

Babak kedua: Kopi Aceh – Gayo Dark Roast (hayoooo mari menerka-nerka)….

Kang Acek Barista Chez Moka ikut serta dalam kompetisi | Foto. Hesty

Kang Acek Barista Chez Moka ikut serta dalam kompetisi | Foto. Flo

Menerka-nerka kopi | Foto: Hesty

Menerka-nerka kopi | Foto: Hesty

Babak ketiga: Kopi Jawa Timur – *Lupa nama daerah spesifiknya* Light Roast.

Finale: Kang Aat Vs Kang Sandro | Foto Hesty

Finale: Kang Aat Vs Kang Sandro | Foto Hesty

Ki - Ka: Kang Sandro & Kang Aat, yah emang beda karakter sih :p | Foto. Hesty

Ki – Ka: Kang Sandro & Kang Aat, yah emang beda karakter sih :p | Foto. Hesty

Malam semakin larut, asap rokok semakin mengebul. Sesungguhnya saya cukup mengkhawatirkan kondisi kesehatan para Barista yang hobi ngopi dan ngerokok serta begadang (mari kita buat gerakkan Barista Sehat) *OOT*. Yaaak, balik ke topik

Oh iya, ga nyangka, peserta yang masuk ke babak final adalah: Kang Aaat dan Kang Sandro. Bukan merekanya sih yang bikin seru, hahaha. Tapi Jenis kopi yang digunakan ga familiar. Saya yakin, baik peserta dan saya sendiri bingung pada karakter kopi tersebut. Kalo udah bingung ekspektasi hasil seduhannya, ya bingung prosesnya harus bagaimana. Biji kopi yang bikin galau. Seduh seduh seduh, dan jadilah 6 cangkir kopi hasil seduhan sang finalis. 1 juri mulai tumbang akibat overdosis kafein, digantikan oleh Kang Jojo, barista Kavee Coffee.

Juri melakukan penilaian | Foto. Hesty

Juri melakukan penilaian | Foto. Hesty

Lucu melihat wajah ketiga juri ini, jelas bingungnya. Entah bingung memilih pemenangnya atau bingung mengidentifikasi rasa biji kopi misterius dari Jawa Timur. Hahaha, seru deh. Cukup panjang waktu penjurian untuk babak final ini. Akhirnyaaaaaaa…….setelah juri berkali-kali melakukan ritual: sruput – kumur2 – telan, maka pemenangnya adalaaaah: Kang Aat. Yeay. Selamat 😀

Saatnya menentukan pilihaaan | Foto. Hesty

Saatnya menentukan pilihaaan | Foto. Hesty

Dan ini dia yang beruntung, Kang Aat | Foto. Hesty

Dan ini dia yang beruntung, Kang Aat | Foto. Hesty

 

 

 

2 Tahun Warung Nasi Etong

Lalala, dapet ucapan Selamat Hari Jadi ke-2 dari WordPress. Kuenya manaaa

Lalala, dapet ucapan Selamat Hari Jadi ke-2 dari WordPress. Kuenya manaaa

Selamat Ulang Tahun wahai Blog Warung Nasi Etong-ku tercinta. Jayalah di dunia nyata, jayalah di dunia maya.

Ceritanya udah 3 hari saya berusaha sekuat tenaga,  bersabar tanpa batas, dan berikhtiar to the max agar modem Smartpret  saya bisa konek di laptop legend bernama IBE (Lenovo IBM X60 yang dibeli kakak saya di pasar loak waktu ngantor di Jepang).  Daaaan, dititik kepasrahan yang paling tinggi, akhirnya bisa konek juga. Seneng dong pastinya, karena saya bisa mengunjungi blog ini lagi.

Tadda, ternyata ada notification dari mas-mas yang kerja di WordPress. Dia berkata:

Happy Anniversary

You registered on WordPress.com 2 Years Ago! (ditulis tanggal 3 Oktober 2013)

Kece banget ga sih? udah 2 tahun saya nyampah di WordPress dengan tulisan-tulisan yang entahlah bergizi apa ga.

Jadi inget, 2 tahun lalu, dikamar kosan berukuran 3×3 m. Saat itu Food Photography menjadi topik yang ngehits banget di antara saya dan Flo (sahabat saya). Yah, sejenis baru ngerasain bahwa saya menemukan keasyikan tersendiri saat melihat makanan atau minuman tertata cantik di tempatnya. Sejenis pengen motret, dan nge-share karya seni itu. Iya, bagi saya menata makanan di atas piring butuh sense of art yang tinggi dan memotretnya (selain memakanya tentu saja) adalah salah satu bentuk apresiasi kepada sang seniman. Makinlah saya tertarik untuk mendalami dunia Food Photography ini. Belajar secara otodidak dan sotoy to the max. Eksperimen, tulis, share – eksperimen, tulis, share. Saya ga ahli motret makanan, saya hanya ingin berbagi kepada lebih banyak orang tentang serunya belajar Food Photography. Sederhana kan?.

Banyak orang menyangka semua makanan di dalam blog ini adalah murni masakan saya sendiri. Oh, sejujurnya bukan :p. Ada yang sengaja saya beli, kemudian ditata ulang. Ada masakan asli rumah (hanya saat saya mudik ke rumah). Dan yang paling banyak adalah: Makanan yang dibeli teman saat kami makan bareng di luar kosan :p. Alhamdulillah, mereka cukup pengertian untuk bilang “Tong, sebelum gue makan…mau lo foto dulu ga?”.  Mereka juga udah tahu, klo makan bareng saya artinya….kita harus memesan makanan yang berbeda, biar makin banyak makanan yang bisa difoto :p. Aaaah, kalian kece banget deeeh.

Dan, di 2 tahun ini…banyak hal mengejutkan terjadi di sini. Dari mulai dikomen oleh mba Riana Ambarsari (Food Photographer idola saya), dikirimin artikel tentang “Memotret makanan adalah ciri-ciri gangguan jiwa”, sampai 13.000an Hits menyambangi blog ga jelas ini. Pokoknya warna warni dah…kaya warna-warni sayuran di dalam semangkuk Capcay Kuah.

Ok, akhir kata,  saya ucapkan terima kasih untuk semua pihak yang masih betah liat tulisan-tulisan absurd saya disini :). Untuk sahabat-sahabat yang rela makanannya saya acak-acak dulu sebelum dimakan, hingganya saya masih bisa upload foto makanan di blog ini.

Doakan saya tetap rajin belajar, berkesperimen, menata makanan, memotret makanan, memasak, dan tentu saja postiiing disini….Semoga tetap bermanfaat :)) *bagi2 kaos Warung Nasi Etong*

Food Photography “From Snapshots to Great Shots”

food photography

Sejenis kesasar di toko buku Books and Beyond, sambil nunggu teman sambil liat-liat jejeran buku di rak Photography. Aaaah mata saya selalu berbinar klo liat jejeran buku indah ini. Dan semakin berbinar saat melihat 3 buah buku bertema “Food Photography”. Di Indonesia buku-buku bertema Food Photography masih terbatas banget. Seingat saya, baru Mba Riana Ambarsari, dkk yang pernah nulis buku tentang Food Photography (CMIIW).

Kembali ke jejeran buku berbahasa Inggris itu, setelah saya lihat-lihat, dan saya bandingkan masing-masingnya maka pilihan jatuh ke buku Food Photography “From Snapshots to Great Shots” karangan Nicole S. Young. Harganya cukup Rp 239.000 saja, mendadak bangkrut :p. Tapi perasaan saya bahagia aja, ga ada rasa menyesal seperti saat saya beli baju di bulan Ramadhan kemarin hahaha.

Buku ini asli keren, pembahasannya lengkap, dan bahasanya mengalir, mudah dipahami (kaya gue bisa B.Inggris aje, hahaha). Terdiri dari 7 Chapter. Chapter 1 berbicara tentang Photography Fundamentalsbahasannya ga jauh-jauh dari fotografi dasar kaya WB, Aperture, Shutter Speed, ISO, dkk. Chapter 2 berbicara tentang Photography Equipment, bahasannya tentang kamera digital, lensa (termasuk lensa apa yang pas untuk food photography), focal length, tripod dan aksesoris lainnya serta lighting equipment.

Chapter 3 bicara tentang Lighting, sejenis membahas natural light ataupun artificial light gitu, dibuku ini juga banyak ditampilkan ilustrasi penempatan reflector saat kita motret dengan bantuan cahaya alami. Chapter 4 adalah bagian yang paling saya sukaaa, membahas tentang Styling & Props. Chapter 4 bicara tentang dasar Food Styling, intinya  tentang bagaimana menata, dan menampilkan makanan agar semakin cantik untuk difoto.

Chapter 5 membahas tentang Framing & Compositionbicara bagaimana kita menemukan keseimbangan pada foto makanan kita, DOF, dll. Chapter 6, Processing Images With Adobe PhotoshopChapter 7 Behind the Scenes, kita diajak untuk meneliti dan memahami food photography from start to finish. Dari mulai styling makanan, menata property, mempersiapkan lighting, sampai postprocessing. Yang bikin seru, setiap step by stepnya dilengkapi dengan foto.

Oh iya, disetiap pembuka Chapter ada 1 foto makanan besaaar banget, disana penulis melakukan bedah foto. Dari mulai, lighting yang dipakai, membahas food presentation-nya, dll. Dan, yang paling keren adalah…ada tantangan disetiap chapternya, ditujukan untuk pembaca. Ok, beberapa waktu kedepan, mungkin blog ini bakal saya penuhi dengan berbagai macam bahasan tentang tantangan ini yaaa. Doakan saya ga moody :p #FoodPhotoChallenge Yoshaaa

Kenapa Suka Ngopi?

FGD "Quo Vadis Bisnis Kopi" (Foto. Mang Aat)

FGD “Quo Vadis Bisnis Kopi” (Foto. Mang Aat pake kamera barunya yang ada wifi-an *gayaaa*)

Jumat 20 Sept 2013 pukul 19.00, Chez Moka. Ceritanya saya tetiba dapat undangan dari teman untuk ikut FGD tentang kopi. Wow, tertarik dong saya. Secara agendanya bakal seru banget, dan yang pasti dapet kopi gratisan dari si empunya FGD *modus.

Sebut saja namanya Hilda, mahasiswi S2 MBA ITB yang sedang menyusun tesis tentang proyeksi bisnis kopi kedepan. Berasa dukun gini.

Malam itu, alhasil terkumpul-lah 5 orang yang konon kabarnya suka ngopi. Dia adalah, saya, Flo, mang Aat, Nanaw, dan satu lagi teman mang Aat yang saya sendiri lupa namanya :p. FGD dimulai dengan pertanyaan: “Kenapa sih suka ngopi?”

Karena kita semuanya penyuka kopi, jadilah dengan semangatnya kami nyerocos bla ble blo tentang motivasi kami ngopi. Wah, ternyata beragam banget loh. Ada yang suka kopi karena konon kalo ga ngopi ada bagian yang hilang dari hidupnya *bahasanya rada dilebaykeun saeutik*. Ada yang suka kopi untuk begadang aja. Ada yang suka kopi karena sisi romantisme mendalamnya *FTV mode on*. Ada yang suka kopi karena emang pengen belajar ngopi. Daaan ternyata, motivasi ini amat sangat mempengaruhi perilaku mengopi mereka.

Misal, si A yang suka ngopi karena kalo ga ngopi ada bagian hidupnya yang hilang. Sudahlah pasti, ngopi adalah ritual wajib selama menjalani hari. Si B yang suka kopi karena kisah romantisme masa lalunya, selalu teringat kisahnya saat ngopi. Si C yang suka kopi karena pengen belajar, ya ga harus-harus banget ngopi tiap hari, dan ga sampe jadi ashobiyah pada salah satu jenis biji kopi, hanya senang aja dengan biji kopi dengan segala kerumitannya. Ada juga golongan orang yang “ah, pengen ngopi weh buat temen rokok” maka biasanya ga peduli minum kopi apa, yang penting kopi, termasuk cukuplah minum kopi instant.

Nah, kalo kamu kenapa suka ngopi?

——-

Ngiklan.

Dikasih arahan bagaimana mengoperasikan mesin espresso oleh sang Barista (Foto. Mang Aat)

Dikasih arahan bagaimana mengoperasikan mesin espresso oleh sang Barista (Foto. Mang Aat)

Saya bikin Cafe Latte sendiri loooh di Chez Moka. Rada grogi gitu. Grogi pas mencet tombol grinder. Grogi pas tamping. Grogi pas mengoperasikan mesin espresso. Grogi pas frothing susu. Grogi pas bikin Latte Art. Ah, rangkaian grogi yang bikin cafe latte saya gagal. Alih-alih bikin Cafe Latte, malah jadi Flat White (baca: kopi susu) aja gara-gara salah pas foaming susu. Ah sudahlah, ini kan baru pertama. Toh, Mas Ardi, Baristanya Chez Moka pernah latihan bikin kopi yang enak sampe-sampe harus dilarikan ke Puskesmas gara-gara overdosis kopi (Baca: minum 15 cangkir kopi sehari).

Cafe Latte gagal total tapi bikinin saya sendiri..lalalala

Cafe Latte gagal total tapi bikinin saya sendiri..lalalala

Belajar Motret Potrait

“Teh, bisa motretin cover buku biografinya teh Meyda Safira ga?”

Menarik, dan menantang. Selama ini saya bergelut di bidang foto wedding (dokumentasi) dan foto produk (still life). So, motret Potrait adalah pengalaman pertama bagi saya. Sedikit grogi dan ga PEDE. Saya sempat terjebak pada pikiran “Waduh, saya paling lemah motret model”. Sampai akhirnya, teman saya bilang “Foto untuk biografi dan foto model itu beda loh. Ada pendalaman karakter subjek yang harus kamu lakukan pada foto untuk biografi”. Hmmm, bener juga. Untuk saya yang sangat menyukai foto-foto manusia (Human Interest), maka proyek ini menjadi sangat menarik.

Akhirnya saya mengondisikan diri, membangun mood untuk foto Potrait ini. Membaca dan menelaah tulisan beliau (Meyda. red), sampai benar-benar tergambar seperti apakah Meyda Safira. Membaca materi tentang bagaimana foto Potrait. Daaan tentu saja, mencontek serta menelaah foto-foto dalam buku biografi para tokoh. Tak lupa melakukan perbandingan terhadap cover buku biografi serupa (baca: Biografi Oki Setiana Dewi).

Dalam foto Potrait, kita tidak bicara tentang “subjek harus terlihat cantik”, melainkan tentang “memunculkan karakter subjek”. Alhamdulillah, karakter Teh Meyda Safira cukup kuat: melankolis dan senang merenung. Karakter yang sangat sesuai dengan seluruh isi bukunya. So, otak saya langsung menggambarkan foto seperti apa yang akan saya ambil.

Saat bertemu beliau untuk pertama kalinya. Saya dan Flo (co. fotografer) berdiskusi tentang setting ruang dan konsep cover foto yang akan memperkuat karakter beliau. Dan alhamdulillah, konsep yang kami ajukan sejalan dengan apa yang beliau pikirkan. So, di sebuah coffee shop berjendela lebar kami melakukan pemotretan.

Kunci dari sesi pemotretan ini adalah: Natural. Saya hanya mengajak beliau  mengondisikan diri untuk merenung. Banyak gesture, banyak mimik yang beliau lakukan dalam perenungan. Tugas saya hanya menekan shutter, dan mencari “puncak perenungan”. Jepreeeettt.

Sesi foto cover selesai. Dilanjut sesi pemotretan untuk foto-foto penunjang cerita di dalam buku biografi tersebut. Huah, bukan pekerjaan yang mudah untuk menggali karakter subjek. Saya korbankan flo untuk berdiskusi interaktif dengan beliau. Dan semuanya berlangsung dengan sangat seru. Banyak ekspresi, banyak gesture yang beliau keluarkan.

Jadi, kata siapa motret itu sekedar mencet shutter? :p

Maaf belum bisa upload foto untuk cover. Ini adalah satu dari banyak foto potrait Meyda Safira

Maaf belum bisa upload foto untuk cover. Ini adalah satu dari banyak foto potrait Meyda Safira

Behind The Scene. Teman saya mengajak subjek berdiskusi. Membuat suasana nyaman. Dan saya memotret tanpa membuat subjek terganggu

Behind The Scene. Teman saya mengajak subjek berdiskusi. Membuat suasana nyaman. Dan saya memotret tanpa membuat subjek terganggu

—–

TIPS Foto Potrait

Ok, ini ada beberapa materi tentang foto Potrait yang saya ambil dari slide presentasinya GFJA. Cekidot…

Ada tiga elemen yang menentukan dalam pembuatan foto Potrait:

  1. Muka, tangan, dan posisi badan (gestur) yang mencerminkan keadaan psikologis subjek saat itu. >>> nah fotografer harus belajar psikologi juga ternyata. Pelajari cara manusia dalam berkomunikasi secara non-verbal
  2. Lingkungan atau tempat yang mencerminkan sesuatu yang berhubungan dengan profesi, hobbi atau ketertarikan/minat dari subjek
  3. Pencahayaan dan komposisi mempengaruhi kekuatan pesan yang akan disampaikan

 

 

 

 

Hayu Urang Ngangkot

Kalo Jakarta macet pada hari Senin – Jumat, maka Bandung macet pada hari Senin – Minggu. Bayangkan. Senin – Jumat, Bandung disesaki oleh penduduknya sendiri. Sedangkan Sabtu- Minggu, Bandung disesaki oleh wisatawan. So, berjalan-jalan di kota kecil ini menjadi hal yang sangat melelahkan.

Segala rupa yang menyesaki kota Bandung adalah mobil pribadi, motor pribadi, dan angkot. Solusi untuk Bandung yang ga lagi macet sebenarnya sederhana, mulai tinggalkan mobil dan motor pribadi, beralihlah ke transportasi publik (baca: angkot). Saya dulu angkoters loh, tapi semenjak angkot itu: Ngetem ga jelas, bau rokok, supirnya maksa, suka ngomong kasar, nyetirnya bahaya, suka berhenti sembarangan, dan banyak copet, maka sejak saat itulah saya memutuskan untuk naik motor pribadi. Dan sejak saat itu juga, saya menjadi salah satu penyumbang kemacetan Bandung. Hiks.

Nah, baru aja saya liat video ini. Video ajakan untuk kembali naik angkot. Video ajakan untuk bareng-bareng mengurai kemacetan Bandung dengan cara naik angkutan publik. Video tentang: Angkot Day. Apa itu? gerakan yang mengajak warga Bandung untuk kembali naik angkot. Taglinenya: 1 Hari, 1 Trayek, Angkot Nyaman, Aman, Tertib dan Gratis. 20 September 2013 trayek: Kalapa Dago. Ahay

Semoga kelak, apa yang kita mimpikan tentang transportasi publik yang nyaman, aman, tertib, tepat waktu, dan terjangkau bisa terealisasi ya…Biar Bandung ga macet lagi :). Kalo bukan kita yang berbuat, siapa lagi?