Kemandirian di Desa Petani

Jumat, 15 Maret 2013 saya dan teman-teman di Komunitas School Ranger kembali melakukan Ekspedisi. Hmmm baru survey sih untuk agenda Ekspedisi Mengantar Kebahagiaan Part 2 :p. Mba Justine, teman saya sekaligus anggota komunitas sekaligus kuncen Tasikmalaya Selatan. Beliau memiliki list sekolah dengan berbagai kondisi dan jarak. Dari yang bagus sampai yang ancur-ancuran, dari yang aksesnya mudah sampai yang aksesnya luar biasa sulit.

Dan hari itu saya diajak ke sebuah desa bernama Ceeceng – Cikatomas – Kabupaten Tasikmalaya. Mengunjungi sebuah sekolah mandiri bernama MI, MTS, SMK Darul Hikmah. Dari Kota Tasikmalaya saya berangkat pukul 06.00 dengan kondisi tubuh yang tidak fit, flu disertai demam di malam harinya. Menembus dinginnya kota Tasikmalaya menggunakan motor. Mba Justine bertindak sebagai supir, dan saya sebagai tuan puteri..hehehehe.

Perjalanan yang akan kita tempuh konon cukup jauh. Ya, jauh disini kebayanglah, pengalaman Ekspedisi part 1 kemarin cukup memberikan gambaran tentang makna “jauh”. Begini kurang lebih: Kota Tasikmalaya – Cikatomas ditempuh selama 2,5 jam, bukan karena macet seperti di Bandung, tapi karena memang jaraknya yang jauh. Jalannya berliku, sesekali dikagetkan dengan lubang segede gaban yang menclok tiba-tiba di tengah jalan yang mulus. Kemudian dari Cikatomas menuju Desa Ceeceng ditempuh dalam waktu 1 jam. Kurang lebih saya akan berada di atas motor selama 3.5 jam.

Jalan bebatuan yang kami lalui menuju desa Ceeceng

Jalan bebatuan yang kami lalui menuju desa Ceeceng

Nah, neraka bermula pada perjalanan dari Cikatomas menuju Desa Ceeceng. Dibuka dengan jalan cor yang rada mulus. Kemudian dilanjut dengan  jalan batuan segede batu kali, istiqomah mengiringi kami hingga sampai di sekolah tujuan. Jalannya tidak datar-datar saja, sesekali menikung datar, menikung menurun sedang, menurun curam, menanjak sambil menikung, menanjak sambil menikung curam, menyebrangi jembatan kayu, dan bertemu tanah merah basah sisa hujan semalam. Beberapa kali saya harus turun dari motor karena medannya yang membahayakan. Bagi pemula seperti saya, kesempatan untuk tergelincir oleh sebab batuan yang besar-besar itu sangat mungkin terjadi, untungnya bukan saya yang nyetir..tapi Mbak Justine yang sudah berpengalaman disegala medan, terbiasa membawa motor trail saat mengajar. Sepanjang jalan saya hanya bisa teriak-teriak kecil “huwwwooo” “hati2 mba” “masya Allah” “Astaghfirullah” “aaaa” “subhanallah keren” dan “Mba, cuma orang yang berhasil lewat jalan ini yang bisa dapet SIM”. Bayangkan saudara-saudara, jalan licin bebatuan, sempit (hanya bisa dilalui satu mobil), dengan batas kiri jurang dan kanan tebing :D.

Variasi jalan: Lubang besar

Variasi jalan: Lubang besar

jembatan kayu dan rapuh sebagai penghubung desa. Jika banjir akses tertutup

jembatan kayu dan rapuh sebagai penghubung desa. Jika banjir akses tertutup

Selama perjalanan, saya banyak bertanya dalam hati

“Serius nih ada sekolah di ujung sana?”

“Standing applause kepada guru yang rela melalui jalan ini untuk mengajar anak-anak lucu di ujung sana”

“Kenapa mereka kepikiran buat bikin rumah disini sih”

Pertanyaan yang tak butuh jawaban.

Satu jam berlalu, badan sakit, muka pucat, dan flu yang makin parah. Tapi semua hilang saat saya disambut oleh plang sekolah yang terjatuh, menyandari di tengah rumput “MI, MTS, SMK Darul Hikmah”. Sekolahnya berada di tengah pemukiman penduduk yang masih jarang-jarang. Anjing kampung berkeliaran. Teduh dengan berbagai macam pepohonan. Rumah-rumah kayu usang yang nyaman bagi si empunya. Anak-anak SD berseragam Pramuka, bermain kelereng di atas tanah yang becek. Tawanya renyah. Dan tentu saja di tengah itu semua, berdiri tiga buah bangunan sekolah.

Anak-anak bermain kelereng di tanah yang becek

Anak-anak bermain kelereng di tanah yang becek

Sayang, kami datang terlambat. Anak-anak sudah pulang, maka kami tak dapat melihat proses pembelajaran disana. Kami yang lelah disambut oleh guru-guru yang senyumnya sumringah. Wajahnya khas desa, teduh, ramah polos, tak ada polesan make up di wajahnya. Sekilas, mungkin kau akan merendahkan kapabilitas mereka. Namun semua hilang saat perbincangan terjadi.

Pertemuan dibuka oleh Pak Egi, sedikit pengantar dari beliau tentang sekolah sederhana ini. Desa Ceeceng adalah desa yang terisolir, selain aksesnya yang sulit, desa ini dipakai oleh PTPN. Warga desa tersingkirkan, terjajah katanya. Beralasan, karena warga tak sedikitpun mendapatkan hak atas tanahnya. Mereka hanya dijadikan buruh PTPN, yang bekerja dari pagi hingga petang dengan bayaran Rp 7.000,00 saja. Wanita-wanita cantik dan para janda direkrut untuk menghibur para pekerja PTPN. Kondisi inilah yang menyebabkan warga bergejolak. Mereka berhimpun, berdiskusi, mengkaji dan menuntut tanahnya kembali. Mereka bilang gerakan ini adalah: Reformasi Agraria. Gerakan ini diimbangi juga dengan gerakan pencerdasan melalui pendidikan. Warga menyadari bahwa anak-anaknya juga harus terdidik (dulu jarak antara desa dan sekolah sangaaaaat jauh). Maka di 2004 warga menginisiasi pembentukan MI, MTS Darul Hikmah.

Pak Egi bercerita tentang sejarah desa dan sekolah mandiri Darul Hikmah

Pak Egi bercerita tentang sejarah desa dan sekolah mandiri Darul Hikmah

“Ini kampung kita, kalau bukan karena kesadaran kita sendiri untuk membangun kampung sendiri, siapa lagi? lalu saya rekrut warga desa ini yang tinggal di jalan-jalan untuk kembali dan mengajar di sekolah ini. Bagi saya pendidikan kebutuhan kita bersama, ya kita perjuangkan bersama” jelas Pak Egi.

Dan benar saja, guru-guru di sekolah ini hampir semuanya adalah warga desa sendiri. Background pendidikan dikesampingkan, mereka lebih memilih orang-orang yang memiliki kemauan dan kepedulian untuk mengajar di sini. “Guru-guru disini bukan hanya mampu yang penting, tapi mau. Kita semua ini guru dan alam ini sekolahnya.” ujar Pak Aan, kepala sekolah MTS Darul Hikam.

Ibu guru ini berjalan 7 km dari rumahnya untuk mengajar di sekolah

Ibu guru ini (kiri) berjalan 7 km dari rumahnya untuk mengajar di sekolah

Walaupun guru-gurunya tidak sekolah tinggi, namun kesadaran akan mendidik dan pendidikan menjadi motivasi bagi mereka untuk terus meningkatkan kapabilitas. Walaupun awalnya dicemooh, namun mereka membuktikan prestasinya. Guru-guru ini sering diundang untuk ikut konferensi guru tingkat nasional bersama puluhan sekolah elite lainnya. Bahkan salah seorang siswa SMK Darul Hikam sempat mengikuti konferensi agraria tingkat nasional, dan menjadi satu-satunya perwakilan elemen siswa disana.

Pembelajaran mereka unik. Benar-benar berbasis local wisdom. Anak-anak diajak untuk mewawancarai para tokoh desa, belajar tentang sejarah desanya. Dan tentu saja belajar untuk menjadi petani dan peternak yang baik untuk membangun desanya sendiri. “Desa kami ini, desa pertanian dan peternakan. Ya anak-anaknya harus ahli disana” ujak Kepala Sekolah SMK Darul Hikam. SMK ini memiliki penjurusan pertanian dan peternakan. Dan sudah ada tiga alumni yang melanjutkan kuliah di bidang pertanian di Jogjakarta. “Mereka tanda tangan MOU, kuliahnya dapat beasiswa dari kami, nanti kembali lagi ke desa untuk kembangkan pertanian di desanya”.

:)

🙂

Keren kan? So..sangat2 memungkinkan konsep sekolah mandiri itu terbentuk. Ayooo siapa yang mau bergotong royong untuk membantu sekolah ini? bilang SAYA!

Btw…perjalanan ditutup dengan mampir ke Desa Mandalamekar, ketemu Ambu :D…melalui sasak gantung. Sensasi Dufan 😀

Mba Justine dan motornya melalui jembatan gantung

Mba Justine dan motornya melalui jembatan gantung

untuk saya yang takut ketinggian, melalui jembatan ini adalah prestasi

untuk saya yang takut ketinggian, berjalan melalui jembatan ini adalah prestasi

 

 

2 responses

Leave a comment